Kisah Tragis Drama Pencitraan Politik Indonesia

Kisah Tragis Drama Pencitraan Politik Indonesia  - Drama politik dan pencitraan pemerintah, terkait kenaikan harga gas elpiji tabung 12 kg, sudah tercium masyarakat. Akibatnya, manuver politik melalui gas elpiji yang dilakoni penguasa gagal mengambil simpatik masyarakat. Bahkan hanya mendatangkan berbagai kritik pedas.

Demikian disampaikan pengamat politik Universitas Sumatera Utara (USU) Ahmad Taufan Damanik kepada Waspada di Medan, Senin (6/1). Menurutnya, kenaikan harga elpiji tabung 12 kg tidak lebih dari drama politik dan strategi pencitraan pemerintah dalam menyongsong 2014 sebagai tahun Pemilu.

Damanik memprediksi manuver politik yang dilakoni pemerintah melalui kenaikan harga gas elpiji akan gagal. Pasalnya, selain tidak menguntungkan bagi pemerintah, juga menjadi blunder karena aroma politiknya mudah tercium masyarakat.

Strategi politik seperti ini, menurut Damanik, sudah basi bagi masyarakat. “Menjelang Pemilu penciuman rakyat terhadap politik kotor sangat tajam. Jadi, partai politik dan elit politik harus berhatihati melakukan manuver politik. Masyarakat Indonesia tidak bodoh lagi sehingga tidak mudah dikelabui dengan isu murahan, “ ungkapnya.

Selain itu, kenaikan harga gas elpiji tabung 12 kg ini jelas menggambarkan terjadinya kisruh politik di kabinet Presiden SBY. “Mustahil Presiden, Menteri ESDM, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI dan Menteri BUMN tidak mengetahui kenaikan itu,” ujarnya.

Menurut informasi, kata Damanik, sebelum menaikkan harga elpiji tabung 12 kg, pimpinan PT Pertamina sudah delapan kali mengirim surat kepada lembaga negara atau yang berwenang terkait kondisi harga gas elpiji. Namun surat tersebut tidak digubris. Tapi setelah harga gas elpiji 12 kg dinaikkan, tibatiba semua memberikan respon tidak terkecuali Presiden.

“Apa mungkin Direktur PT. Pertamina berani menaikkan harga elpiji secara sepihak tanpa melakukan koordinasi dengan pemerintah. Jelasnya, polemik kenaikan harga elpiji tersebut sarat dengan trik politik partai koalisi menjelang Pemilu 2014,” ujarnya.

Kasus kenaikan harga elpiji ini juga memperlihatkan betapa buruknya komunikasi antara menteri Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Kekacauan komunikasi ini begitu terasa ketika Pemilu sudah dekat. Bahkan, terkesan saling menghadang.

“Kisruh di kabinet atau buruknya komunikasi dan koordinasi antara menteri terlihat dari proses kenaikan harga gas elpiji ini. Kondisi ini jelas memperburuk citra Presiden di mata publik sebagai pimpinan tertinggi kabinet,” tegasnya.

Selain itu, kenaikan harga elpiji juga terkesan menggambarkan kekhawatiran penguasa dalam menghadapi Pemilu 2014. “Kenaikan harga elpiji 12 kg hingga 68 persen merupakan manuver politik partaipartai koalisi guna meningkatkan elektabilitasnya menjelang Pemilu,” ujar Damanik seraya meminta elit politik tidak mengorbankan PT Pertamina untuk kepentingan politik.

“Pertamina seakan dijadikan tumbal pencitraan. Sebab, partaipartai koalisi berlagak menjadi pahlawan bagi masyarakat yang mengeluh tentang kenaikan harga itu,” terangnya.

Damanik memungkiri adanya miss koordinasi. Namun dia lebih melihat adanya indikasi kesengajaan mengingat Pemilu sudah diambang pintu dan pamor partaipartai koalisi pendukung pemerintah sudah jeblok di berbagai survei.

Jadi, jangan heran jika ada saja trik politik lahir ke publik menjelang pesta demokrasi. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) atau sejenisnya, sudah menjadi langganan tumbal demi kepentingan politik. “Situasi yang berulang ini membuat rakyat menjadi pintar menyikapi segala gejolak atau kenaikan harga, “ tegasnya.

Dia menambahkan, drama politik tidak saja dilakukan eksekutif, kalangan legislatif juga menggunakan isu tersebut sebagai politik pencitraan. “Doyan mempolitisasi kenaikan harga barang akan membawa elit politik atau parpol menuai masalah baru,” demikian Damanik.

Batalkan

Sebelumnya, Anggota DPD RI asal Sumut Parlindungan Purba meminta Pemerintah dan Pertamina membatalkan kenaikan harga gas elpiji 12 kg. Sebab, kenaikan harga ini berdampak pada ketersedian elpiji 3 kg di masyarakat, Artinya elpiji 3 kg kemungkinan menjadi langka di pasaran.

“Kenaikan harus dibatalkan, karena makin banyak orang yang ramairamai beralih ke elpiji 3 kg sehingga akan berdampak pada ketersediaan di pasaran. Jika mereka beralih ke elpiji 3 kg, maka hal ini bukan menjadi solusi. Apalagi saya dengar keamananan tabung elpiji 3 kg belum terjamin,” kata Parlindungan Purba kepada Waspada di Medan, Senin (6/1).

Parlindungan mengkhawatirkan, kenaikan harga gas elpiji berdampak pada terjadinya pengoplosan elpiji 3 kg. “Ini sama saja mengajarkan masyarakat untuk menyalahgunakan gas elpiji 3 kg. Sebab, saya khawatir banyak yang melakukan tindakan negatif seperti melakukan pengoplosan dari tabung 3 kilogram bersubsidi ke tabung 12 kilogram dan 50 kilogram nonsubsidi,” jelasnya.

Yang lebih berbahaya lagi, lanjut Parlindungan, pengoplosan itu rentan terjadi ledakan atau kebocoran pada tabung. “Pengoplosan ini berbahaya, karena rentan terjadi ledakan. Ini akan menambah masalah baru lagi,” tegasnya.

Menurutnya, kebijakan menaikkan harga gas elpiji 12 kg menambah beban biaya produksi yang saat ini ditanggung masyarakat dan pelaku usaha kecil menengah (UKM). “Ini membuat beban produksi masyarakat meningkat. Kenaikan beban produksi sepertinya tidak ada hentihentinya sejak awal tahun kemarin. Mulai beban tarif listrik dan BBM naik,” tegasnya.

Selama ini, lanjut Parlindungan, UKM atau usaha makanan/kuliner banyak yang memakai gas elpiji 12 kg sebagai penunjang utama. “Kenaikan harga gas elpiji 12 kg tergolong besar bagi pedagang, sehingga dampaknya langsung dirasakan karena semua pedagang makanan akan menaikan harga jual dagangannya.

Sebelum menaikkan elpiji, pemerintah sebaiknya menghitung kembali penerimaan harga di tingkat masyarakat. “Ini permasalahan serius, kita akan bawa permasalahan ini dalam paripurna DPD RI,” demikian Parlindungan Purba. 
sumber:waspadamedan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar