Apakah Jokowi akan seorang diri dan tumbang dari posisi presiden lebih dini ?.

Jika kita membuka laman-laman berita yang bertutur perkembangn situasi dan opini politik paska ditundanya pelantikan Kapolri, salah satu pertanyaan yang segera hinggap adalah : Jokowi, apakah akan seorang diri dan tumbang dari posisi presiden lebih dini ?.

Mengapa demikian ?.

Mari kita buat peta dasarnya secara sederhana bersumber dari berita media massa.

Paska keputusan menunda pelantikan Kapolri baru yang sudah disetujui DPR-RI, Jokowi, sebagai presiden, kita dikepung serangan opini dari segala penjuru. Dari dalam rumahnya, PDI-P, seperti dimuat Kompas[dot]com, Trimedya Panjaitan mengatakan : “Kami masih berharap agar pak Jokowi melantik pak Budi Gunawan. Dengan begitu, kehormatan DPR dan juga pak Budi bisa terjaga,” ujar Trimedya di Jakarta, Minggu (18/1/2015). Trimedya juga mengaku tidak menyangka kalau Jokowi akan menunda pelantikan Kapolri baru (??).

Lantas, di kubu seberang, politisi Gerindra yang sering gantian muncul dengan Fadli Zon, Desmon J. Mahesa juga bilang begini : “Ini game, biar Jokowi yang menentukan. Dia (Jokowi) lantik dia (Budi), maka akan berhadapan dengan KPK. Kalau dia tidak lantik, maka kita akan galang interpelasi,” kata Desmon di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (15/1/2015).

Tak cukup cuma pernyataan Desmon , politisi Demokrat Benny K. Harman, juga ikut ‘memberi warning’ ke Jokowi. Begini pernyataannya : “Kalau Presiden melantik Budi Gunawan itu jadi pintu masuk impeachment (pemakzulan) Presiden,” kata Benny, di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/1/2015). Jokowi akan dianggap melanggar sumpah jabatan karena mengangkat seorang tersangka menjadi Kapolri. Hal ini, kata Benny, sangat berseberangan dengan sumpah jabatan Presiden yang harus menegakkan hukum seadil-adilnya.

Demikian gambaran kasar konstruksi opini politik bersumber dari ‘pabrik politik’ seperti politisi DPR. Lalu, di laur parlemen, juga muncul opini yang tak kalah kerasnya, datang dari ahli tata negara. Margarito dan Yusril Mahendra. Inti komentar mereka : Jokowi dinilai keliru,dan, membuka ruang bagi kegaduhan politik dan peluang dimakzulkan.

Selain ahli yang mengkritik Jokowi, lebih mengkhawatirkan lagi, keputusannya dengan calon tunggal Kapolri yang jadi tersangka KPK seolah membuatnya berdiri vis-a-vis jaringan aktivis dan relawan : “Kami akan mencabut dukungan jika Jokowi meneruskan pencalonan Budi Gunawan, dan relawan akan kembali turun ke jalan,” jelas J-Flo.

Dari pemetaan opini yang dinukil dari beberapa laman berita di atas, ada kesan sangat kuat, Jokowi terancam, dari dalam pun luar parlemen. Bukan tidak mungkin, jika salah kelola, dia akan menjadi seorang diri menghadapi ‘bom waktu turbulensi’. Dengan kata lain, bayang-bayang tumbang lebih dini bisa segera terwujud.

Maka sekarang ini, baik yang pro dan anti padanya, sedang menunggu apa yang akan dilakukan. Menunggu sebuah langkah cerdas, yang bukan saja secara politik akan menyelamatkan, namun juga, secara hukum, konstitusional tak terbantah.

Mengambil Pelajaran

Tulisan ini bukan tentang apa yang sebaiknya dilakukan Jokowi ?. Atau dengan kata lain, saya berusaha memberi resep yang langsung bisa dipraktikan. [ Memangnya Jokowi membaca ini ? hehe]

Yang jadi concern tulisan ini adalah : apakah Jokowi akan mengalami takdir politik bahwa seorang pemimpin populer yang tidak memiliki gen biru politik, atau bukan dari kasta militer, atau juga bukan pangeran dari satu jaringan kekuatan ekonomi, akan mudah digulingkan ?.

Andai kata Jokowi terguling (dimakzulkan) karena kasus Calon Kapolri, maka hal-hal berikut barangkali perlu kita jadi pembelajaran bagi para pendukung.


Pertama, pelajaran itu adalah menjadi pemimpin yang populer dan memiliki deposit legitimasi yang cukup dalam pertarungan bipolaristik yang kencang, selalu akan berhadapan dengan pilihan perluasan kompromi, ke dalam pun ke luar. Ke dalam, ia harus menenangkan lingkaran dekat agar tidak menjadi macan di dalam selimut, ke luar, ia harus bisa meminimalisir potensi perang dengan oposisi. Penting bagi pendukung, sejak awal, menyadari kondisi ini agar tidak berharap terlalu tinggi. Ada kondisi, pilihan pragmatis adalah sah dalam kalkulasi politik.

Kedua, pelajarannya adalah : dalam polarisasi kekuatan politik (paling tidak yang tampak di parlemen), si presiden yang populer bisa saja menjadi ’subyek tersandera’. Celakanya, untuk tidak tersandera, mau tidak mau, hal paling buruk bagi si presiden adalah memilih langkah bernyali kecil, bertindak lembek agar tidak layu sebelum berkembang. Karena, sikap kerasnya–bukan saja karena benar tapi juga menjaga harapan rakyat–bisa menjadi pedang bermata dua, membabat dua arah. Nah, para pendukung presiden yang populer sejak terpilihnya sudah harus bekerja keras untuk menjaga agar kondisi tersandera dan menjadi kecil nyali dan lembek itu tidak berkembang.

Pelajaran ketiga, dalam jepitan kepentingan dan pagelaran kekuatan politik bipolar tadi, elemen yang paling mungkin melakukan stabilisasi kegaduhan adalah militer. Disini, seperti yang sudah kita fahami, ada masalah klasik dari hubungan sipil dan militer dalam politik. Jika, dalam andaian terburuk, kondisi pertarungan bipolar (di politik nasional kita : pertarungan KMP vs KIP) itu harus berujung dengan pengambilalihan militer atas pengelolaan republik, apakah pemimpin populer yang bekerja dari bawah masih bisa dilahirkan lagi ?.

Keempat, dalam pertarungan bipolar dimana seorang presiden populer memimpin, kita jangan mengabaikan elemen-elemen politik yang kelihatannya tertidur atau ’sedang bermasalah’, mungkin sedang menunggu momentum untuk mengambilalih kendali. Di kasus ini, seperti yang sudah disebut sebelumnya, potensi itu ada pada kelas militer, dan, sebenarnya ada juga pada partai politik. Golkar dan mungkin Jusuf Kalla mungkin bisa memainkan lakonnya disini. Jika ini terjadi, seorang pemimpin populer hanyalah kunci masuk ke istana, selebihnya, ia bukan figur tidak penting. Sekali lagi, bagi para pendukung presiden yang populer, bagaimanakah menghadapi potensi ‘telikungan’ seperti ini ?.

Kelima, pelajaran ini terkait dengan hubungan antara kekuatan relawan dan kinerja politik presiden agar tetap pada jalan yang benar. Bagaimanakah membangun sistem kerja yang produktif-kritis-progresif diantara mereka terlebih ketika menghadapi kondisi politik yang berbahaya?. Memberi dan membangun jaringan pendukung, melontarkan kritik, membangun wacana alternatif dalam posisi yang ‘non sistemik, cair, dan momentual’ kepada presiden adalah pekerjaan berat. Tapi, apakah itu cukup untuk mengawal jalannya pemerintahan ?. Maksudnya disini adalah bukan menyuruh para relawan itu meminta jatah menteri atau jabatan lain, akan tetapi, jika kondisi chaos, jaringan relawan ini bisa bermutasi menjadi people power (?).

Demikian lima pembelajaran yang berangkat dari pertanyaan jika Jokowi terguling. Semoga bermanfaat.

Link Berita
  1. Pernyataan Trimedya : http://nasional. kompas. com/read/2015/01/18/17251601/PDI-P.Jokowi.Perlu.Lantik.Budi.Gunawan.agar.Kehormatan.DPR.Terjaga?utm_source=news&utm_medium=bp&utm_campaign=related&
  2. Pernyataan Desmon J. Maesa : http://nasional. kompas. com/read/2015/01/15/18311211/Gerindra.Ini.Game.Jokowi.Berhadapan.KPK.atau.Interpelasi.DPR?utm_source=news&utm_medium=bp&utm_campaign=related&
  3. Pernyataan Benny K Harman : http://nasional. kompas. com/read/2015/01/15/15292821/Demokrat.Melantik.Budi.Gunawan.Jadi.Pintu.Masuk.Memakzulkan.Jokowi
  4. Gugatan Relawan : http://www. bbc. co. uk/indonesia/berita_indonesia/2015/01/150115_dprparipurna
Sumber: http://politik. kompasiana. com/2015/01/19/jika-jokowi-terguling-apa-pelajaran-bagi-pendukung-717844.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar