Setelah Label Jokowi Sebagai Petugas Partai Digaungkan Lagi ?

Polemik antara KPK dan Polri belakangan ini telah menguras energi bangsa. Tak begitu jelas apa yang tengah dipertaruhkan para elit sehingga seluruh lembaga negara seakan tak berkutik. Padahal bagi rakyat, substansi perseteruan itu tidaklah penting sama sekali, apalagi dianggap strategis untuk kesejahteraan mereka. Substansinya adalah memilih Komjen Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian RI (Kapolri). 

Memori rakyat tentu tidak bisa dilepaskan bahwa konfik KPK-Polri dimulai dari pengajuan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden Joko Widodo kepada DPR pada 10 Januari 2015. Penetapan status tersangka kepada Budi Gunawan oleh KPK menjadi penyela sebelum DPR meloloskannya melalui fit and proper test. 

Polemik antara KPK dan Polri belakangan ini telah menguras energi bangsa

Seakan tak puas dengan kerja sigap KPK, ditambah adanya insentif dari ketidaktegasan Presiden Jokowi, serangkaian serangan terhadap garda depan pemberantasan korupsi pun semakin masif baik lewat hukum mapun politk. Kini, seluruh pimpinan KPK sudah berstatus sebagai tersangka dan terlapor di Bareskrim Mabes Polri atas tuduhan yang digali hingga jauh sebelum mereka menjabat sebagai Ketua KPK. 

Rakyat pasti melihat, bahwa kekisruhan antar lembaga ini semakin liar melibatkan eksekutif, legislatif dan yudikatif sekaligus. Semua masih dalam konteks yang sama, yakni, mempertahankan Budi Gunawan sebagai Kapolri. 

Pertanyaannya, kekuatan apa yang mendorong semua hal ini terjadi? Seberapa penting peran Budi Gunawan sehingga mampu menggeser akal sehat para elit? Apakah jabatan Kapolri lebih penting dari nilai besar menegakkan supremasi hukum. 

Kalau konsisten melihat persoalan ini secara jernih maka persoalannya adalah ada pada Budi Gunawan. Pria berkumis itu tampaknya tidak bisa dilihat sebagai individu, dia adalah simbol dari sebuah kepentingan yang lahir dari pergulatan politik. Politik dalam bentuknya yang paling primitif dipertontonkan secara gamblang tanpa memperdulikan rasa keadilan rakyat. Tak bisa dielakkan, semua adalah buntut dari panasnya pertarungan politik di Pemilihan Presiden 2014 yang mengantarkan Jokowi sebagai Presiden. 

Budi Gunawan, sebagai perwira aktif disinyalir ikut bermain dalam pergulatan tersebut. Presiden SBY yang menjabat saat itu bahkan merasa perlu untuk memperingatkan bahwa ada perwira aktif bermain dalam politik. 

Entah ada tawar-menawar apa antara Budi Gunawan dengan PDIP, namun indikasi terang terlihat dalam pengakuan Pelaksana Tugas Sekretaris Jendral PDIP, Hasto Kristiyanto, pada 22 Januari 2015 atau sehari sebelum tragedi penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Wijojanto. 

Hasto melancarkan tudingan lain ke arah Abraham Samad. Pemimpin KPK itu menurut kesaksiannya menaruh dendam pribadi kepada Budi Gunawan.karena dianggap sebagai pengganjal penetapan Samad menjadi calon wakil presiden Jokowi. Kasus ini bahkan diamini oleh politisi PDIP lain yakni Tjahjo Kumolo, dan Arteria Dahlan. 

Simbol kepentingan yang melekat pada Budi Gunawan juga sangat kuat, apalagi yang bersangkutan adalah mantan Ajudan Mantan Presiden Megawati Soekarno Putri. Kepentingan Ketua Umum PDIP yang sering dipaksakan dalam kebijakan Jokowi terungkap pada kasus Budi Gunawan. Sambil mendesak untuk tetap melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri secara terbuka, PDIP juga tanpa malu bersikap antagonis terhadap Presiden yang diusungnya. 

Label Jokowi sebagai petugas partai digaungkan lagi oleh Puan Maharani dan Effendi Simbolon sebagai bentuk serangan psikologis untuk menggolkan ambisi Budi Gunawan. Pemaksaan untuk melantik Budi Gunawan dalam berbagai bentuknya itu harus dipandang sebagai bentuk pembajakan atas kedaulatan rakyat oleh elit. Bagaimana tidak, demi seorang Budi Gunawan, aspirasi rakyat dikesampingkan. 

Harapan rakyat atas pemberantasan korupsi dimusnahkan dalam sekejab. Kasus ini belum akan berakhir dan akan semakin memburuk jika tidak ada langkah tegas dari Presiden Jokowi. Kalau pun ada keputusan dalam waktu dekat, langkah itu sudah sangat terlambat bagi kredibilitas pemerintah di mata rakyat. 

Di masa depan, pemerintahan Jokowi akan kehilangan landasan pijak saat berbicara tentang penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi. Langkah penyelamatan harus deilakukan dengan membalas ‘budi’ kepada rakyat, bukan menambah dosa dengan membalas ‘budi’ atas hutang politik kepada para elit.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ali Irfani : Dosen UIN Jakarta dan peneliti pada Indonesian Institute for Civil Society (INCIS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar