Presiden dan Wakil Presiden Hanya Bisa Dicalonkan Oleh Partai Politik - Selama satu dekade, antara tahun 2004-2014 ini, memberikan gambaran sangat jelas, bagaimana partai-partai politik, para anggota legislatifnya, para tokoh partai yang duduk di kabinet, dan para pemimpin partai-partai politik, termasuk kepala pemerintahan yang mengelola negara, tidak menunjukkan kesungguhannya dalam membela rakyat.
Rakyat ibaratnya seperti yatim-piatu, tanpa pembela, pelindung, dan yang menjaga kehidupan mereka. Dibiarkan hidup sendiri. Kata-kata di dalam konstitusi seperti “melindungi tanah air dan segenap tumpah darah”, tidak nampak dalam kebijakan dan tindakan para pemimpin Indonesia. Bangsa dan negara dibiarkan menjadi objek asing, dan kemudian mereka menguasainya.
Asset dan sumber daya alam sudah menjadi milik asing. Tak tersisa. Negara yang luasnya tiga kali daratan Eropa dengan asset dan sumber daya alam melimpah, kenyataannya tidak memberikan berkah kepada rakyatnya. Jumlah orang miskin secara absolut masih tetap tinggi. Angka pengangguran berderet. Dari waktu ke waktu tanpa ada perubahan nyata.
Kondisi yang dialami bangsa Indonesia ini merupakan produk dari partai-partai politik, pemimpin partai politik, kepala pemerintahan (presiden) yang dihasilkan oleh partai politik. Karena dalam konstitusi secara ekplisit dinyatakan, “presiden dan wakil presiden” hanya bisa dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan suara 20 persen di parlemen.
Dalam sistem demokrasi yang menjadi “mainsistem” sistem utama adalah partai politik. Tidak ada yang keluar dari pakem atau peranan partai politik. Segala sesuatu yang terkait dengan kebijakan pemerintah dan negara, tidak ada, tanpa campur tangan dari partai politik.
Lantas bagaimana pemilu 2014 ini? Pertama, dari daftar calon legislatif (DPR) 90 persen wajah lama. Hanya 10 persen calon-calon baru. Tokoh-tokoh partai yang memimpin partai masih tetap wajah lama. Dari visi-misi dan agenda politik yang mereka perjuangkan tidak ada sesuatu yang baru. Semuanya hanya berbicara kemakmuran dan kesejahteraan. Itu sudah sejak zaman Soekarno berbicara dengan kata-kata yang sama. Tetapi, hasilnya nihil, dan semuanya mengakhiri pemerintahannya dengan membawa bencana, dan semakin meningkatnya kemelaratan rakyat.
Mulai dari Abdurrahman Wahid, Mega, dan sekarang SBY, semuanya tidak menunjukkan adanya “progres” kemajuan bagi bangsa Indonesia.
Semasa Abdurrahman Wahid, pemerintahan penuh dengan kekacauan, dan berganti-ganti menteri, kebijakannya sangat tidak jelas, dan penuh dengan retorika politik, kecuali pemerintahan Abdurrahman Wahid, hanyalah menguntungkan golongan Cina. Abdurrahman Wahidlah yang melegalkan agama Konghucu di Indonesia. Abdurrahman Wahid tokoh yang penuh dengan kontroversi dan antagonis. Pemerintahan singkat, karena Abdurrahman Wahid dilengeserkan akibat korupsi.
Megawati menggantikan Abdurrahman Wahid, tetapi pemerintahannya, tak juga menunjukkan komitmen dan pembelaan terhadap kepentingan “wong cilik”, dan kepentingan nasional Indonesia. Sekalipun Mega lahir dari keturunan Soekarno, dan selalu mengidentikkan dengan nasionalisme, faktanya bukan seorang nasionalis sejati.
Masa pemerintahan Mega, asset negara yang sangat strategis dijual habis dengan harga yang sangat murah. Langkah paling menyakitkan yang sangat merugikan kepentingan nasional Indonesia, pertama menjual “Indosat” kepada Singapura dengan harga sangat murah. Langkah Mega kedua, “memberi pengampunan” kepada para konglomerat hitam(Cina) yang ngemplang dana BLBI Rp650 triliun. Salah satunya adalah Syamsul Nursalim yang sekarang menetap di Singapura. Termasuk Mega menandatangani penjualan gas “tangguh” kepada Cina dengan harga murah, sambil berdansa.
Mega pergi digantikan oleh SBY, dan sekarang sudah diujung kekuasaannya, seperti dalam acara di Metro TV, ketika dalam acara “Mata Najwa”, seorang peserta yang hadir, Glenn Freedly, di tanya apa yang layak dikenang oleh bangsa Indonesia tentang SBY, dia mengatakan hanya, “albumnya”. Tragis.
SBY hanya melahirkan pemerintahan korup penuh dengan kebobrokan, dan melibatkan seluruh elite partai demokrat. Tak ada yang dapat kalis dari tangan KPK atas segala tindakan mereka yang menjarah uang negara. Tak ada yang bisa menyelamatkan SBY dari jeratan hukum?
Jika Anas Urbaningrum ditahan KPK, sebaiknya SBY mengundurkan diri, dan membentuk atau menyerahkan kepada “caretaker” pemerintahan baru, dan membiarkan penegak hukum terus mengusut persoalan yang sekarang membelitnya. SBY tidak mungkin tidak tahu segala sengkarut korupsi di tubuh Demokrat.
Pemilu 2014 ini masih didominasi wajah-wajah partai dan tokoh lama, tak ada yang baru. PDIP, Golkar, Demokrat, tetap menjadi kekuatan utama politik, di tambah partai-partai baru, Nasdem, Hanura, Gerindra, semuanya merupakan bentuk methamorpose wajah lama. Semuanya berasal dari Golkar.
Masihkah anda tertarik ikut pemilu 2014? Masihkah berharap terhadap partai-partai politik? Masihkah mereka berhak mendapatkan amanah dari rakyat? Masihkah ada kejujuran diantara para pemimpin partai politik? Di mana keberpihakan mereka terhadap kepentingan rakyat? Apa yang bisa diharapkan dari mereka?
Masihkah anda tertarik ikut pemilu 2014? Masihkah berharap terhadap partai-partai politik? Masihkah mereka berhak mendapatkan amanah dari rakyat? Masihkah ada kejujuran diantara para pemimpin partai politik? Di mana keberpihakan mereka terhadap kepentingan rakyat? Apa yang bisa diharapkan dari mereka?
sumber :voa-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar