POLYBAG Untuk Rakyat

Harga cabai rawit di Jakarta per 10 Januari 2023 mencapai Rp 74.673 per kilogram. Pada periode yang sama Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan mencatat harga cabai rawit merah di DKI Jakarta naik 34,4 persen dibandingkan bulan lalu menjadi Rp 75.400 per kilogram.


Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi mengungkapkan jika pemerintah berencana akan membagikan polybag. Berdasarkan prediksi pemerintah akan membagikannya tiga bulan sebelum harga cabai melonjak.
 
“Setiap bulan atau awal tahun begini (harga) cabai itu tinggi, nah kedepannya polybag tiga bulan sebelumnya bisa disebar di masyarakat,” kata Arief dilansir dari tempo, Rabu 11 Januari 2023.

Selain berencana membagikan polybag, pemerintah juga berencana untuk menyediakan teknologi heat pump dryer. Alat tersebut berfungsi untuk mengeringkan cabai hasil panen yang lembab sehingga cabai tersebut bisa disimpan dalam jangka waktu lama.
 
“Kemudian ada juga yang cabai keringnya kemudian nanti direndam lagi kemudian dicampur dengan cabai yang fresh. Itu sebenarnya juga rasanya sama,” imbuhnya.

Sebelumnya Menko Maritim & Investasi, Luhut Binsar Panjaitan mengibaratkan ancaman resesi ekonomi pada tahun 2023 itu dengan istilah perang rakyat semesta. Salah satu hal yang dijaga oleh pemerintah ialah angka inflasi terutama dari sektor pangan.

"Itu saya gunakan istilah tentara, perang rakyat semesta," ungkap Luhut.

Imbauan menanam cabai dan sayur mayur sendiri selain disampaikan oleh Menko Marves, Luhut juga disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian. Mendagri bahkan mengintruksikan aparatur desa untuk menggalakan gerakan menanam cabai sendiri. 

READ MORE - POLYBAG Untuk Rakyat

Politik Buying Time 2027

Apapun aturan yang menyangkut  pilpres yang  ditawarkan rezim, seperti ambang batas president treshold 20 %, penundaan pilkada serentak dari  2022 disatukan dengan pilpres 2024, perpanjangan periode jabatan presiden dari 2 menjadi 3 periode -- hingga penundaan pilpres 2024 menjadi 2027 -- kesannya semua itu bermuara pada  kepentingan kelompok oligarkis sipit.



Kaitannya ialah dalam rangka melanggengkan kendali mereka atas kekuasaan. Terkait dgn itulah posisi pilpres 2024 ini sangat penting dan strategis bagi kelompok oligarkis. Mereka akan mempertaruhkan apa saja untuk bisa memenangkan pilpres 2024.

Target politik mereka ialah bila  mereka berhasil memenangkan pilpres 2024 -- maka pada  pilpres 2029 mereka tidak lagi membutuhkan boneka dari kalangan  pribumi (Islam).   Ongkos politiknya terlalu mahal. Mereka akan mencapreskan sosok dari bangsa mereka sendiri. Dalam kontek inilah upaya menggadang-gadangkan Ahok menjadi relevan.

Masalahnya ialah hingga saat ini kelompok oligarkis belum menemukan sosok yang sepadan  dengan Jokowi. Sementara beberapa sosok yg memberi isyarat bersedia jadi "boneka pengganti", seperti PM, PS, GP -- kualitas, elektabilitas dan popularitas mereka jauh di bawah Anies Baswedan. Nah, inilah yg menjadi sumber kepanikan kelompok oligarkis sipit itu. Kepanikan itu dapat dilihat dari cara mereka menghadang Anies

Langkah  pertama ialah " menghabisi" Anies. Tapi tidak berhasil. Masalahnya ialah mereka tidak menemukan celah "memainkan"  Anies. Anies bersih. Tidak tersangkut korupsi. Kinerjanya kincrong. Elektabilitas dan popularitasnya meroket.

Inilah yang membuat kelompok oligarkis panik dan akhirnya memainkan jurus mabuk.

Jurus pertama ialah menunda  pelaksanaan pilkada serentak 2022 dan menggabungkannya dengan  pilpres 2024. Dengan jurus ini Anies yang akan berakhir masa tugasnya 2022 akan kehilangan panggung politik selama dua tahun. Masa dua tahun itu berpotensi menenggelamkan popularitas dan elektabilitas Anies.

Dengan demikian peluang Anies untuk memenangkan kursi RI-1 di 2024 sangat kecil. Mungkin juga konsentrasi Anies akan terbagi. Mempertahankan kursi DKI-1 atau ikut mencapres ?

Tapi apakah dengan jurus pertama itu kelompok oligarkis  sudah merasa "aman" dan yakin "petugas partai"  barunya akan memenangkan pilpres 2024 ? Ternyata tidak.

Popularitas dan elektabilitas Anies tetap saja  menghantui mereka. Ketakutan itu melahirkan jurus kedua.

Jurus kedua ialah membangun wacana menambah periode masa jabatan presiden dari dua menjadi tiga periode.

Wacana ini bagi saya menegaskan bahwa kelompok oligarkis sipit belum menemukan sosok  kuat  pengganti  Jokowi. Artinya, kelompok oligarkis masih butuh dan ingin mempertahankan Jokowi. Sekalipun resistensi atas Jokowi  sangat kuat  dan  elektabilitasnya sangat rendah -- akan tetapi posisinya sebagai petahana  membuatnya lebih berpeluang menang.

Posisi petahana menguntungkan untuk beberapa hal. Seperti kesempatan memanfaatkan fasilitas negara, memobilisasi ASN, memanfaatkan kekuasaan menekan panitia penyelenggara pilpres dll.

Syukurnya agenda nyeleneh itu  ditolak publik dan beberapa partai politik, seperti PKS, Gerindra, PDIP, Golkar, dll. Tentu saja karena agenda itu akan menutup peluang capres partai-partai tersebut.

Apakah penolakan itu menyurutkan langkah kelompok oligarkis ? Oh, no. No way. Kalau tidak ngotot tidak  Cina namanya. Upaya lain utk melanggengkan kendali kekuasaan atas negeri ini  terus mereka upayakan

Upaya itu ialah melalui politik buying time. Ngulur waktu. Ini jurus mabuk ketiga. Yakni mewacanakan penundaan pilpres dari 2024 ke 2027. Guna  menghindari resistensi para politisi yg sedang menjabat jadi anggota DPR, MPR dan DPD -- kelompok oligarkis sipit mencoba "menyuap" mereka. Dimana posisi mereka tidak diganggu hingga pilpres 2027. Artinya mereka tetap menduduki jabatan itu lebih lama tanpa harus bertarung melalui mekanisme pemilihan di pemilu 2024.

Ah. Dasar mata sipit. Jagonya suap. Ada  saja cara untuk meloloskan kepentingannya. Akan kah para politisi kita termakan suap tersebut ? Wallahualam....

Lalu, apa relasi  politik buying time tersebut dengan upaya melanggengkan kekuasaan ?

Sebagaimana saya utarakan diatas, pilpres 2024 ini sangat penting dan strategis bagi kelompok oligarkis sipit dalam melanggengkan kendali mereka atas kekuasaan dan dalam rangka mewujudkan agenda-agenda politik terselubung lainnya.

Ini ada kaitannya dengan agenda politik mereka untuk mendudukkan, memenangkan calon presiden dari kalangan bangsa mereka sendiri pada pilpres 2029. Ini adalah road  map political agenda dari negeri induk. 

Jalan menuntaskan ambisi teritorial melalui pendekatan demografi--populatif. Jalan untuk itu sudah dimulai dengan mencurahkan investasi gila-gilaan yang diikuti dengan mobilisasi imigrasi secara besar-besaran. Baik dengan kedok TKA maupun dengan cara masuk mengendap-endap atau melalui visa turistik.

Jadi patut diduga, ide buying time atau ngulur waktu  ini bisa jadi dalam rangka menunggu terpenuhinya jumlah "supporter" impor dari Cina untuk ikut memilih dan memenangkan capres mereka.

Bila itu menjadi kenyataan, maka pilpres 2019 akan jadi pilpres terakhir bagi capres pribumi. Pilpres 2027 dan seterusnya akan menjadi milik mereka. Bila jabatan presiden jatuh ke tangan mereka, tentulah tidak sulit bagi mereka merebut jabatan-jababatan di kepala daerah dan mendominasi parlemen.

Semoga politisi bangsa ini bisa belajar dari pengalaman Singapura.

Selamat merenung.
Salam buyung tanjung kamba


READ MORE - Politik Buying Time 2027

Sang Demonstran Bayaran, Siapa Yang Bayar Mereka?

Di Jakarta dan di Yogyakarta diduga ada gerombolan bayaran yang beroperasi disaat demo rakyat menolak Omnibus Law Cipta Kerja, tugasnya khusus menghancurkan fasilitas kota. Di Jakarta mereka membakar Halte Trans Jakarta dan properti yang dibangun Anies Baswedan untuk memperbaiki Kota Jakarta. Di Yogyakarta mereka merusak berbagai fasilitas umum yang dibangun Gubernur Yogyakarta Sri Sultan HB.

Gerombolan ini berpakaian hitam-hitam, mereka sangat cekatan, agresif, beringas dan brutal dalam menghancurkan properti yang dibangun Gubernur di kedua propinsi tersebut.


Mereka tidak membawa poster atau spanduk penolakan Omnibuslaw Cipta Kerja. Mereka juga tidak berorasi tema apapun yang berkaitan  dengan penolakan Omnibuslaw Cilaka. Yang mereka bawa adalah botol berisi bensin sebagai bom molotov untuk membakar.

Fisik mereka terlihat tegap, tinggi, kekar dan atletis. Wajah mereka tak terlihat karena tertutup, namun sorot matanya sangar dan garang.

Sebagaimana di Jakarta, di Yogjakarta pun terjadi hal yang serupa, seprtinya ada kelompok yang dendam dengan Sri Sultan HB, mungkin karena selama ini dibatasi dan tak dibiarkan menguasai ekonomi serta hak memiliki tanah di kota Yogjakarta, lalu mengerahkan masa bayaran dari luar Yogjakarta untuk melakukan aksi anarkis merusak semua properti kota Yogyakarta.

Gerombolan pelaku ini bekerja dengan sangat agresif serta cekatan. Modus aksinya nampak berbeda sekali dengan yang terjadi di Surabaya. Seperti yang dilansir media, kerusakan yang timbul di Surabaya akibat ekses demo relatif sangat kecil.

Pelaku pengrusakan di Surabaya juga tidak terlihat terorganisir, bersifat spontanitas dan hanya merusak beberapa material properti yang terlewati pendemo secara random dengan skala kerusakan ringan.

Namun apa yang terjadi di Jakarta dan Yogyakarta ini berbeda. Pengrusakan oleh gerombolan terlihat terorganisir, terencana, masif, tidak random, ada target fasum Kota prestasi Gubernur yang disasar secara khusus, dan skala kerusakan juga besar karena disertai aksi pembakaran.

Bahkan menurut info masyarakat yang beredar di WAG, ada yang merasakan keanehan karena ketika mereka melihat kerusakan yang terjadi dari wilayah Pasar Senen sampai HI serta kawasan Salemba Cikini, sisa-sisa dari tindak anarkis perusakan tidak mengusik sedikitpun toko-toko dan tempat usaha kelompok tertentu.
Sebaliknya toko-toko dan tempat usaha mereka malah aman, bersih dan yang habis justru malah fasilitas umum buatan buatan Gubernur. 

Masih menurut info masyarakat di WAG, bahkan fasilitas umum sampai yang belum jadipun ikut dihancurkan juga.

Dan dikatakan bahwa hingga  jam 2 malam orang-orang dari etnis tertentu yang biasanya sangat paranoid justru berani keluar melintasi jalan-jalan dilokasi eks kerusuhan dan malah ber-selfi ria tanpa dihantui rasa takut dan khawatir sedikitpun.

Jadi benarlah apa yang dikatakan Sri Sultan HB, bahwa gerombolan pelaku anarkis ini memang berasal dari luar dan diperkirakan memang secara khusus ditugaskan untuk melakukan penghancuran dan pengrusakan Kota yang Gubernurnya dibenci dan dimusuhi kelompok tertentu.

Seperti kata Sri Sultan .. "Yaa.. kita tau lah kelompok mana itu .."

READ MORE - Sang Demonstran Bayaran, Siapa Yang Bayar Mereka?

Mengerikan...!!! Jika Rezim ini Kembali Berkuasa

1. periode 2019-2024 akan terjadi migrasi besar2an rakyat Cina ke Indonesia,  minimal 25-50 juta.  

2. Saat pilpres 2024 akan dimunculkan boneka baru guna melanjutkan semua grand strategy Cina utk menguasa Indonesia manjadi bagian dari RRC Raya. Pengiriman  manusia cina ke Indonesia makin masif,  hingga tahun 2029 bisa menjadi 100 juta.  Sesuatu yg mudah karena semua kebijakan mereka yg atur. 

3. Saat pilpres 2029, boneka mereka kembali disetting agar kembali berkuasa utk periode keduanya (spt Jkw sekarang).  Selama pemerintahan boneka periode kedua ini jumlah manusia cina di Indonesia bisa mencapai 200juta lebih. 


4. Saat Pilpres 2034, berkat UU yg sudah diamandemen (presiden tidak harus orang asli pribumi),  maka tampillah capres yg full secara fisik  dan mental (jiwa raga) adalah ras cina. Mereka akan menang dg mudah, bahkan jika pemilu dilaksanakan secara "jurdil"pun, krn jumlah mereka sudah sangat banyak.  Belum lagi ditambah dg suara pribumi2 dungu yg sejak awal gak mikir soal kedaulatan dan martabat bangsa (kalangan abangan,  sepilis,  atheis,  eljibiti,  hobi maksiat,  dll).   Nama Indonesia akan tinggal menjadi kenangan,  mungkin diganti Indocina. 

5. Dalam kurun 2019-2034 itu,  seluruh aspek kehidupan  (EKOPOLSOSBUDHANKAM) akan dikendalikan oleh RRC.  Secara spesifik, ideologi Pancasila akan dihapus,  komunisme dikembangkan,  umat Islam (target utama)  akan ditindas habis2an, masjid2 dikekang dan secara perlahan dihancurkan, lembaga2 keislaman (sekolah,  PT,  ponpes,  badan2 amal2 syariah dll) akan ditekan dan dihabisi karena menjadi virus munculnya perlawanan thd pemerintah yg berkuasa. Pendek kata,  Indonesia akan menjadi Uighur/Xinjiang  (Turkistan Timur) yang dijajah total. Semua simbol dan ritual yng berbau Islam akan ditindas dn dihabisi.  Pada saat yang sama akan dibangun kamp-kamp indoktrinasi bagi anak2 utk dididik menjadi komunis sejati. 

6. Maka 2034 INDONESIA benar2 TAMAT sebagaimana digambarkan dalam novel technothiller karya PW Singer berjudul GHOST FLEET yg beberapa waktu lalu ketika diwacanakan oleh pak PS banyak diolok-olok oleh kaum cebong dungu LAKNATULLOH ALAIH. 

7. Dan,  seperti dikatakan oleh pengamat dr Eropa ini,  kesempatan bagi rakyat Indonesia wabil khusus kaum muslim tinggal SEKARANG ini utk berjuang memperjuangkan kedaulatan melepaskan diri dari belenggu penjajahan RRC.  Ingat, cengkeraman mereka sudah cukup kuat dg jebakan hutang utk infrastruktur yg gila2an, apalagi jika proyek pemindahan ibukota jadi dilakukan, ditambah secara fisik TENTARA mereka sudah berada di sini dg jumlah yg jauh melebihi jumlah TNI maupun polri (yg terakhir ini  bahkan sekarang sudah menjadi bagian dari proyek penjajahan Cina,  pengkhianat sejati yg gak mikir soal kedaulatan yg penting dikasih duit banyak dah senang). Mau apalagi kita?? 

8. Pendek kata,  MENGERIKAN.

READ MORE - Mengerikan...!!! Jika Rezim ini Kembali Berkuasa

Buzzer Bayaran Adalah Pasukan Tanpa Ideologi

Di masa pemilu presiden, orang menjadi gila setelah pencoblosan selesai dan pemenang diumumkan. Tiga tahun berlalu, fragmentasi pendukung tak kunjung kembali ke titik netral. Kicauan pembenci dan pemuja Jokowi, baik yang berpikir menggunakan otak maupun dengan dengkul bersliweran setiap hari di media sosial. Beruntunglah mereka yang masih memiliki akal sehat untuk menikmati perpecahan ini dan melanjutkan hidup.

Situasi serupa, terulang di pemilihan gubernur DKI Jakarta. Di ajang ini, orang sudah menjadi gila jauh sebelum pertarungan dimulai. Caci maki dan tuduhan bersemburan sejak jauh-jauh hari dari pendukung maupun penghujat Pak Gubernur di media sosial. Aneka profesi tiba-tiba menjadi ahli di bidang tata kota hanya karena mendukung calon inkumben, Basuki Thajaja Purnama alias Ahok atau sebaliknya.

 Buzzer Bayaran Adalah Pasukan Tanpa Ideologi

Seorang aktivis liberal bahkan menuding seseorang lainnya sebagai 'penjual kemiskinan' karena mengadvokasi masyarakat masyarakat korban gusuran. Para pendukung calon inkumben punya energi melimpah untuk menggebuk siapa saja yang menyenggol Pak Gubernur. Rachel Maryam salah satu korbannya. Foto semasa menjadi artis, yang sudah tak relevan dengan jabatannya sebagai anggota DPR diumbar ke publik.

Siapa yang paling militan? Tentu saja kubu yang berkuasa. Sejak awal mereka disokong pesohor Twitter yang mempunyai puluhan sampai ratusan ribu pengikut. Kelompok ini beririsan dengan kubu pendukung Jokowi di pemilu presiden. Narasi yang mereka bangun adalah para pesohor alias selebtweet ini bergerak murni karena gerakan moral tanpa bayaran.

Saya bertanya-tanya apa yang membuat orang-orang ini sedemikian berenergi mendukung calon gubernur? Benarkah hanya aspirasi murni bermodal ketulusan dari lubuk hati yang terdalam? Sulit membayangkan orang-orang ini bergerak secara tulus dan sukarela mengingat mereka juga mulai berekpansi ke Jawa Barat. Lingkarannya masih orang yang itu-itu saja. Apalagi yang bisa menjelaskan spirit ini kecuali ada kepentingan yang menguntungkan kelompok atau diri mereka sendiri?

Narasi inilah yang dibangun lewat Teman Ahok. Ada kelompok anak-anak muda yang khawatir Ahok tak bisa maju lalu membentuk gerakan mengumpulkan KTP. Awalnya kita dibuai, betapa adiluhurnya gerakan ini. Teman Ahok berawal dari kesadaran personal lalu viral menjadi kesadaran kelompok. Mereka adalah relawan, bergerak tanpa bayaran sama sekali. Begitulah narasi yang ingin mereka bangun.

Belakangan kita tahu, seperti ditulis Majalah Tempo, kelompok ini didesain oleh konsultan politik dengan modal yang lumayan besar. Ini adalah mesin yang diinjeksi modal sehingga bergerak menjadi besar, konon berhasil mengumpulkan sejuta KTP, walaupun tak pernah diverifikasi kesahihannya. Saya memahami mengapa belakangan aktivis Teman Ahok dan lingkaran dekatnya marah dengan Tempo. Sebab, narasi yang ingin mereka bangun akhirnya porak poranda.

Pola yang dibangun oleh buzzer ini nyaris sama yakni menghancurkan instrumen penting demokrasi lalu memunculkan satu tokoh yang dianggap hero. Konkretnya, mereka bakal membunuh karakter lawan politik sedemikian rupa. Mereka menggebuk DPRD DKI Jakarta sebagai begal anggaran, membangun opini bahwa semua DPRD adalah maling dan yang bersih hanya calon yang mereka dukung. DPRD, yang memang payah dalam soal korupsi, akhirnya menjadi bulan-bulanan publik.

Musuh kedua mereka adalah partai politik. Sejak awal mereka membangun jarak dengan partai politik. Lihat saja pernyataan awal kelompok buzzer ini terhadap partai politik. Partai politik dicap korup, pemeras dan sumber segala kebusukan republik. Kelompok ini pula yang paling gemar membully Setya Novanto ketika kasus Papa Minta Saham. Meskipun kita tahu Ahok memilih jalan dan siapa yang menjadi sponsor dalam pemilihan gubernur kali ini.

Pola mereka berikutnya menggebuk media massa yang kerap melancarkan kritik dan lawan politik. Tempo sudah menjadi korban. Media online lain pernah juga digebuk meskipun tidak semassif risak terhadap Tempo. Mereka juga nyinyir dengan tokoh yang bisa dianggap sebanding dengan penantang Ahok. Anies Baswedan sudah kena semprit, meskipun menjadi calon gubernur saja belum. Risma juga pernah. Ridwan Kamil yang tak maju di Jakarta juga disikut entah karena apa. 

Siapa pasukan terdepan mereka? Tentu saja pasukan di Twitter, yang mengklaim tak pernah dibayar. Sulit membayangkan di akal sehat saya, seseorang hidup di Jakarta, ngetweet sepanjang pagi hingga malam, menggebuk siapapun tanpa ada unsur kepentinyan lain. Tentu ada yang bergerak sukarela. Tapi lebih banyak mana yang bergerak karena komando dan strategi yang didesain matang?

Buat saya, buzzer bayaran adalah pasukan tanpa ideologi yang berpotensi merusak demokrasi. Ada buzzer yang dulu jadi pendukung calon A di pilkada DKI 2012, kini menjadi pendukung Ahok kelas wahid. Target mereka adalah membunuh karakter pilar demokrasi seperti partai politik dan media massa, lalu berusaha memonopoli kebenaran. Dari situlah mereka mengeruk keuntungan finansial.

Pasukan buzzer ini hanya melekat pada tokoh, bukan pada ideologi. Ketika si calon memilih jalur independen mereka menepuk dada sembari mencaci partai politik. Ketika calon memilih jalur partai, mereka kembali bersorak sorai memuji partai politik karena dianggap memilih tokoh yang tepat. Lalu, di manakah letak sebuah prinsip jika mencla-mencle dimaklumi? Integritas tak lagi penting selama sang calon mencapai tujuan, bagaimana pun caranya.

Mereka tak memiliki pertanggungjawaban moral apapun sehingga layak disebut perusak demokrasi yang sedang kita bangun pelan-pelan. Mereka tak punya pertanggungjawaban apapun terhadap publik. Bandinhkan dengan partai politik memiliki mekanisme reward and punishment lewat pemilu. Jelek mereka bertindak, mereka tak bakal dipilih dalam pemilu. Media massa pun begitu. Ceroboh memberitakan, media bakal ditinggalkan pembaca. 

Lalu, apa pertanggung jawaban orang-orang ini? Sama sekali tak ada. Contoh paling anyar soal buzzer kebakaran hutan. Mereka mengais rezeki di atas penderitaan korban asap. Kalau tak ketahuan, uang masuk kantong sembari berteriak-teriak soal penyelamatan lingkungan. Ketika ketahuan, mereka ramai-ramai mencari pembenaran lalu ketawa-ketiwi. Lihat, apa hukuman mereka? Mereka masih bisa ketawa-ketiwi karena tak memiliki prinsip dan mungkin juga urat malu. Seorang akun Twitter menyebut orang-orang ini sebagai penjual jempol ketengan. Saya kira ini adalah istilah yang tepat.

Mereka gagah berani mengumpan kicauan sehingga berbuah bully pada lawan politik. Mereka bekerja secara berkelompok, mencari target untuk dirisak. Rupanya mental orang-orang ini belum cukup kuat untuk terjun ke politik. Nyali mereka tak sebesar kicauan di Twitter. Ada dua pendukung Ahok yang mengunci akun karena dibully di Twitter. Lha, bagaimana mau memperjuangkan demokrasi kalau dicaci maki saja langsung ngumpet? Apalagi info terakhir, ada seorang pendukung Ahok stres dan down akibat ribut-ribut ini. Alamaaaak....

Jadi kesimpulannya begini, dulu makelar politik bersembunyi dalam ruang senyap-senyap yang tak terjangkau publik. Kini mereka berkeliaran di lini masa, mengais rezeki di atas penderitaan korban. Mereka nyata dan tak lagi punya malu. 

Sudah saatnya partai politik mewaspadai gerombolan dan para makelar politik ini.

READ MORE - Buzzer Bayaran Adalah Pasukan Tanpa Ideologi

Proses PAW Puan Maharani dari DPR

Proses penggantian antarwaktu (PAW) Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani dari keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum juga selesai. Itu berbeda dengan Sekretaris Kabinet Pramono Anung dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang proses PAW-nya sudah selesai. Padahal, Puan lebih dulu masuk pemerintahan ketimbang Pramono. Terkait dengan belum selesainya PAW Puan, Pramono tidak membeberkan secara rinci persoalan yang masih menjadi penghambat. "Sedang dalam proses karena ini kan urusannya belum sampai di anu, tetapi sedang diproses," ujar Pramono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin.

Lebih lanjut, Pramono mengatakan PAW dirinya dengan Tjahjo Kumolo sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden Nomor 129/P Tahun 2015 tentang Peresmian Penggantian Antarwaktu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Masa Jabatan 2014-2019. Pramono menjelaskan posisinya di DPR digantikan Eva Kusuma Sundari. Eva merupakan calon anggota legislatif dari PDIP pada Pemilihan Legislatif 2014 dari daerah pemilihan Jawa Timur VI, dapil yang sama dengan Pramono. "Kadang kala proses menjadi panjang kalau ada orang yang harus dilewati. Di bawah saya itu bukan Ibu Eva Sundari. Ada satu nama dan untuk itu, kan, perlu lobi, mediasi, duduk bersama sampai kemudian terselesaikan. Makan waktu agak panjang, kalau saya ya," ucap Pramono.

Proses PAW Puan Maharani dari DPR

Posisi Tjahjo di DPR digantikan Tuti Nusandari Roosdiono yang merupakan peraih suara terbanyak kedua setelah Tjahjo di dapil Jawa Tengah I. Direktur Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya mengingatkan Presiden Joko Widodo agar konsisten bahwa menteri tidak boleh rangkap jabatan di partai politik ataupun di DPR. Puan telah merangkap jabatan sebagai menteri dan anggota DPR sejak pertama kali kabinet terbentuk. "Secepatnya harus diselesaikan," cetusnya. Menurut Yunarto, dalam melakukan proses PAW sudah ada mekanisme otomatis yang bisa dilakukan. Mekanisme otomatis tersebut, dijelaskannya, bisa langsung menunjuk dan kemudian bisa mengganti anggota DPR yang bersangkutan.

Mengganggu

Yunarto mengatakan lambannya proses PAW itu juga mengganggu pertanggungjawaban seorang anggota DPR terhadap konstituen. Di satu sisi Puan masih tercatat sebagai anggota DPR dan berhak mendapatkan segala fasilitas yang melekat dalam keanggotan itu. Di sisi lain, Puan tidak lagi menjalankan tugas sebagai anggota DPR karena kewajibannya sebagai menteri.

Pengamat politik dari Founding Father House (FFH) Dian Permata menyayangkan kelambanan proses PAW Puan. "Ini kan agak lucu, gerakan revolusi mental harusnya dimulai dari kementeriannya Puan. Sejak awal kampanye kan Jokowi-JK sepakat agar para menteri tidak rangkap jabatan," ujar Dian saat dihubungi, Senin (28/12). Menurutnya, proses PAW Puan bisa dilakukan dengan simpel, tinggal menempatkan siapa yang mendapat suara terbanyak kedua.
Sumber : MediaIndonesia.com

READ MORE - Proses PAW Puan Maharani dari DPR

Ketika Jokowi Marah Besar

Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menunjukkan sikap marah dalam menyikapi kasus Freeport hanya bagian akting untuk menaikkan popularitas dan mengalihkan kasus perpanjangan kontrak dengan perusahaan asal AS di Papua itu.

“Itu hanya akting saja untuk menaikkan popularitas, padahal pada saat yang sama ada perpanjangan kontrak dengan PT Freeport. Menteri Sudirman Said mengakui sudah mendapat persetujuan dari Presiden Jokowi,” kata pengamat politik Zainal Abidin dalam pernyataan kepada intelijen, Rabu (9/12).

Menurut Zainal, Jokowi itu suka Presiden yang akting dan pencitraan. “Padahal untuk kasus ini bisa dengan menggunakan operasi senyap agar segera menangkap Riza Chalid. Buktinya kemarahan Jokowi justru Riza Chalid bisa kabur terlebih dulu,” papar Zainal.

Kata Zainal sikap yang ditunjukkan Jokowi itu justru makin membuat gaduh perpolitikan di Indonesia. “Memang Jokowi suka membuat gaduh dan terlihat bekerja. Padahal gaduh itu upaya Jokowi untuk menutupi kekurangannya untuk mengurus negara Indonesia,” jelas Zainal. Ingat kan, ada kalimat bijak: Tong Kosong Berbunyi Nyaring, sedangkan Tong Yang Penuh Makanya nyaris tidak ada bunyinya.

Ketika Jokowi Marah Besar

Selain itu, ia pun heran dengan waktu kemarahan Jokowi yang sekarang. “Padahal rekaman itu sekitar bulan Juni, tetapi baru dibuka sekarang dan marahnya baru sekarang. Nampaknya ada skenario yang lagi disembunyikan oleh Jokowi,” pungkas Zainal. Apakah skenario itu yang juga ada di dalam rekaman Maroef Sjamsuddin yakni #PapaMenangCurang?

Sementar itu, mantan Staf Khusus di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Andi Arief menilai kemarahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya sebuah akting. Pasalnya, kemarahan tersebut dilakukan dihadapan awak media. 

“Kalau marah sambil ngumpulin wartawan namanya acting,” ujar Andi melalui akun twitter @AndiArief_AA 

Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Jokowi sempat marah besar setelah membaca secara utuh isi transkrip percakapan antara ketiga orang yang telah dilaporkan Menteri ESDM Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) (Baca: Jokowi: Saya Tak Apa Dikatakan Presiden Gila, presiden Sarap, Tapi Jangan Mencatut) 

Politisi Partai Demokrat ini juga menyayangkan kemarahan Presiden Jokowi, lantaran dinilai tak berdampak hukum. Terlebih, sambungnya, kemarahan tersebut dilakukan dengan mengumpulkan wartawan. Dia pun menantang Presiden Jokowi untuk segera melaporkan pelaku pencatut nama dirinya. 

“Memangnya kalau marah langsung divonis rakyat gagah, tegas. Laporkan ke penegak hukum kalau merasa dicatut, berani?,” tegasnya. 

Bahkan Andi mengkritik tajam Presiden Jokowi dengan menyebut “anak ingusan” apabila gampang marah. 

“Yang gampang marah itu anak ingusan. Presiden jangan marah, tapi lapor ke penegak hukum,” sindir Andi. 

Andi pun merasa heran terhadap kemarahan Presiden Jokowi. Lantaran kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden ini sudah memasuki hari ke-19, namun kemarahan tersebut baru kali ini terjadi. 

“Kejadiannya udah lama, marahnya baru kemarin. Marah di hari kesembilan belas,” ungkap Andi. 

Dan politikus Demokrat Kastorius Sinaga menyarankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap tenang dan arif menyikapi setiap proses Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. 

“Adalah tidak elok bila Presiden Jokowi menunjukkan kemarahannya ke publik. Menunjukkan kemarahan ke publik bukanlah tipe pemimpin yang ideal,” ujar Kastorius kepada Tribun, Rabu (9/12). 

Apalagi bila itu dilakukan dalam menghadapi sebuah krisis politik tingkat tinggi seperti terjadi dengan skandal Freeport, karena itu akan memperuncing keadaan. 

“Sikap marah Presiden bisa memicu gesekan keras di tingkat elit yang dapat merembes ke akar rumput masyarakat dan kemudian memicu terjadinya keributan,” ungkapnya. 

Kata dia, Presiden benar bahwa siapapun tidak boleh mempermainkan lambang negara. 

Namun penyelesaian persoalan ini harus dipercayakan ke mekanisme yang ada yaitu sidang etik bagi anggita DPR yang melakukannya. 

“Bila kemudian terdapat unsur pidana dapat dilanjutkan ke proses hukum,” ujarnya. 

Dalam konteks ini, disarankan sebaiknya Presiden Jokowi melaporkan kasus pencatutan namanya ke kepolisian secara formil. 

“Agar Kapolri bergerak sesuai kewenangan hukum yang dimilikinya untuk memproses perkara ini dengan benar sesuai koridor hukum,” katanya.(ts/pm)

Sumber : eramuslim.com

READ MORE - Ketika Jokowi Marah Besar