Misteri Nomor Urut 13 Partai Pada Pemilu 2014 - Ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan partai politik peserta
Pemilu 2014 dan nomor urutnya setahun lalu (14 Januari 2013), para elite
partai-partai politik di Tanah Air berlomba memberikan makna atas nomor
yang didapatkannya.
Partai Nasional Demokrat (Nasdem), misalnya,
yang mendapatkan nomor urut satu merasa paling bahagia. Mereka
menghubungkan dengan mitos-mitos keberuntungan. Bagaimana tidak, sebagai
partai baru dan satu-satunya partai yang lolos persyaratan administrasi
dan verifikasi faktual, nomor urut satu adalah langkah awal yang baik
melaju baik pada pemilu 2014.
Demikian pula Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). Presidennya, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), mensyukuri
nomor tiga sebagai berkah karena mudah menyosialisasikan ke publik,
tinggal mengacungkan tiga jari dengan cara apapun: tiga jari berderet di
tengah atau bergaya metal. Sayang keberuntungan nomor urut partainya
tidak diikuti keberuntungan dirinya karena ditangkap oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa hari kemudian.
Partai
Golongan Karya (Golkar) yang secara ‘DNA’ adalah partai sekuler pun
memistifikasi nomor lima dengan makna simbolisme religius. Dalam sebuah
diskusi, Nudirman Munir, menganalogikan dengan rukun Islam dan shalat
lima waktu sehari semalam.
Partai Demokrat pun begitu. Nomor
tujuh yang didapatkannya dianggap angka keberuntungan, terhubung antara
mitologi Islam dan Eropa. Dalam Islam angka tujuh sangat sering
disebutkan, termasuk penciptaan langit dan bumi. Dalam mitologi Eropa
angka tujuh kerap dihubungkan dengan angka keberuntungan (the lucky
number). “Partai Demokrat harus mampu membumbung tinggi hingga ke langit
ke tujuh,” ujar Nurhayati Ali Assegaf (Kompas.com, 8/7/2013).
Bagaimana
dengan Partai Aceh (PA) yang mendapatkan nomor 13 yang dianggap angka
sial? Tidak ada komentar dari pimpinan PA, kecuali apologi dari juru
bicara partai bahwa nomor itu penuh berkah. Susah kita menerima
keberkahan nomor 13, seolah-olah itu menjadi kebenaran aksiomatik.
Secara faktual tak ada orang yang sudi menggunakan angka itu secara
sukarela. Silakan periksa di seluruh rumah, tidak ada yang memakai angka
13, demikian pula lantai bangunan dan juga kamar hotel.
Ada
unsur mistik dan horor yang menggelayuti angka itu. Apalagi kalau angka
13 dihubungkan dengan hari jumat, sempurna sudah kesialan malam itu-
meskipun baru terbukti pada serial film lawas The Friday 13th. Bagi saya
sebagai orang Melayu, angka 13 bukan angka sial, karena orang-orang tua
dulu menyebutkan, “hancur klehar, celaka dua belas”, bukan tiga belas.
Mitos Bahasa
Adalah
Claude Levi-Strauss, seorang filsuf antropo-linguistik dan pengusaha
pakaian berbahan jins, menyebutkan fungsi bahasa, bukan hanya
menyebarkan pesan dan simbol, tapi juga mitos. Bahasa sebagai tanda
bukan hanya berperan menghubungkan petanda (signified) sebagai ide untuk
memaknai penanda (signifier), tapi juga membelokkannya menjadi bentuk
(form) dan konsep (concept). Konsep yang disebutkan di sini tidak
berfungsi sebagai makna (signification) pada level pertama bahasa, tapi
level kedua, yaitu ketika makna diambil alih, “dirampok”, dan diberikan
makna baru, di luar makna denotatif atau kamus.
Itulah yang
kemudian disebutkan sebagai mitos. Dalam tradisi di era totem dan tabu,
mitos dijadikan bentuk pengawalan moral dan penyiraman pengetahuan
masyarakat. Namun jangan salah, masyarakat modern juga mengonsumsi
mitos. Contohnya, “mitos tas mahal” Channel dan Hermes yang sudi dibeli
oleh para sosialita hingga ratusan juta rupiah. Tas Hermes Ratu Atut
Choisiyah yang disita oleh KPK berharga Rp 1,4 miliar. Betapa mitos
menggerogoti sistem logika kebahasaan tentang kualitas terbaik, terkuat,
paling elegan, dan “ter-paling” lainnya hingga melawan akal sehat.
Dalam
politik hal itu juga beroperasi. Terlalu banyak mitos yang kini
bergelayut di ruang publik, sehingga menyebabkan masyarakat kehilangan
kesadaran, kritisisme, mengonsumsi cerita bikinan dan rekaan,
melumpuhkan motif untuk bertindak atas dasar-dasar rasional dan
kalkulatif. Politik kita tak kurang kleniknya (political superstition).
Orang memilih Partai Demokrat pada Pemilu 2009 karena percaya mitos
ampuh anti-korupsi, karenanya PD berhasil mendulang 20,4% suara.
Demikian juga keberhasilan PKS menjadi “partai Islam paling mengejutkan”
pada Pemilu 2009 dengan meraup 7,8% karena mitos “bersih dan peduli”.
Tak
lupa pula di Aceh, kemenangan Partai Aceh (PA) pada 2009, di samping
kerja-kerja politik mobilisasi, juga bergeraknya mitos komunikasi,
seperti: “Satu-satunya partai yang mengawal perdamaian Aceh; Wareh
nanggroe; Miseue kon PA mandum gob, dan sebagainya”. Kemenangan Zaini
Abdullah-Muzakkir Manaf pada Pilkada 2012 mengalahkan para incumbent tak
lepas dari “klenik 21 janji” yang sangat membius. Apakah bahasa mitos
itu perlu menjadi aktual, dalam politik riil tidak penting, karena
tujuannya adalah bekerjanya komunikasi klenik dalam membangun
“pengetahuan baru” di kepala publik dan menyingkirkan rasionalitas umum.
Anti-tesis mitos
Pertanyaannya,
seberapa lama sebuah klenik politik itu bisa bertahan? Hal itu
tergantung seberapa “rasional”, terbukti, nyaman, dan kuat klenik itu
tertanam di hati dan pikiran publik. Namun banyak bukti politik klenik
hancur dan tercerai-berai oleh anti-tesis mitos baik dalam
praksis-aktual atau dalam bahasa baru.
Awalnya kita terkejut (tapi
kini tidak lagi) bahwa klenik anti-korupsi Demokrat hancur oleh mantra
pembersihan korupsi KPK. Demikian pula klenik bersih dan peduli PKS
nampaknya tidak berhasil mempertahankan prestasi elektoralnya pada
pemilu 2014 akibat kasus impor sapi dan LHI. Dari hasil survei terakhir
Kompas yang dirilis pada 7 Januari lalu misalnya, mitos dan takhyul
politik yang selama ini menjadi latar depan partai-partai politik
tersebut tidak lagi mencengkeram pikiran publik. PD kini meluncur
menjadi partai nomor empat (7,2%), sedangkan PKS menjadi partai yang
ditinggalkan dua pertiga pemilihnya (2,3%).
Sayang, banyak survei
yang dilakukan selama ini tidak melibatkan partai politik lokal di Aceh.
Kita tidak mengetahui seberapa kuat dan seberapa besar persentasi PA
pada Pemilu 2014 ini. Sebagai the rulling party, PA tentu mengalami
proses “denaturalisasi mitos” dan delegitimasi politis ketika dianggap
gagal membahasakan kepentingan publik Aceh secara luas.
Publik
tentu merekam setiap tingkah-polah para politikus PA di dalam atau di
luar parlemen, sejauh mana bermakna untuk rakyat atau untuk politik
perkauman. Publik tentu sedang mendedah mitos perdamaian, apakah cukup
rasional? Ataukah bisa bergerak lebih jauh lagi seperti janji-janji
kampanye yang disampaikan Zaini-Mualim: Menuju Aceh yang sejahtera dan
berdaulat?
Ataukah, secara faktual Aceh masih provinsi
kecil-medioker yang dalam banyak hal tak bisa “merdeka” dari Medan
sekalipun? Tapi percayalah, klenik politik akan kalah oleh rasionalisasi
politik dan politik empiris. Sejarah sudah mencatat berulang-ulang, di
banyak tempat dan waktu.* Teuku Kemal Fasya, Dosen Antropologi Politik. Email: kemal_antropologi2@yahoo.co.uk
sumber : tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar