Permintaan Partai Demokrat agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat peraturan yang mengakomodasi kekosongan kursi Ketua Umum di partai itu, dinilai tak bisa terpenuhi. Undang-undang 8/2012 tentang Pemilu sudah tegas mendefinisikan siapa pimpinan partai politik yang dapat menandatangani daftar calon sementara (DCS) untuk Pemilu Legislatif.
"Sebutan lain sesuai AD/ART partai dalam klausul itu, tetap merujuk pada jabatan Ketua Umum dan Sekretaris Jendral yang memang lebih lazim digunakan partai," kata mantan Ketua Pansus RUU Pemilu, Arif Wibowo, saat dihubungi, Sabtu (2/3/2013). Contohnya, sebut dia, adalah penyebutan 'Presiden' di Partai Keadilan Sejahtera, yang merupakan ketua umum bila merujuk praktik di partai lain.
Ketentuan soal pengajuan DCS diatur dalam pasal 57 ayat 1 huruf a UU 8/2012. Bunyi lengkap klausul tersebut adalah 'Daftar bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 diajukan kepada: (a) KPU untuk daftar bakal calon anggota DPR yang ditandatangani oleh ketua umum atau sebutan lain dan sekretaris jenderal atau sebutan lain'.
Wakil Ketua DPR, Pramono Anung (kanan) dan mantan Ketua Pansus RUU Pemilu, Arif Wibowo (kiri)
"Jadi bukan merujuk pada 'lembaga' lain, sekalipun punya kewenangan sesuai AD/ART partai bersangkutan," tegas Arif. Kalau semata kewenangan sesuai AD/ART, ujar dia, Dewan Syuro di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga punya kewenangan menetapkan calon legislatif, tetapi tetap tidak dapat menjadi dasar pengajuan DCS ke KPU.
Justru, kata Arif, klausul dalam UU tentang Pemilu soal pimpinan partai politik yang dapat menandatangani DCS ini dibuat untuk mengantisipasi persoalan seperti yang kini mendera Partai Demokrat. "Memberikan kepastian hukum," ujar dia.
Arif memberikan contoh kasus-kasus sengketa internal partai politik yang marak pada Pemilu 2009, sebagai referensi. "Kalau nanti (permintaan Partai Demokrat) ini dikabulkan, justru mengancam kepastian hukum," ujar dia. Jangan-jangan, imbuh Arif, di belakang hari dengan argumentasi dinamika internal partai maka Plt juga dapat menandatangani.
"Aturan soal itu dibuat untuk mencegah hiruk-pikuk, menghindari konflik internal yang tak perlu," tutur Arif. Jangan sampai kelonggaran dibuat sekarang, lalu di kemudian hari akan menjadi celah bagi 'mandat' atau malah pengambilalihan, entah di partai yang mana lagi.
Arif menyarankan Partai Demokrat menempuh mekanisme sesuai AD/ART untuk mengisi kekosongan struktural di posisi Ketua Umum, setelah Anas berhenti dari jabatan itu, Sabtu (23/2/2013). "Meski AD/ART mengatur kewenangan Majelis Tinggi, tetap harus menyesuaikan struktur kepartaian. Nomenklatur partai harus baku," tegas dia.
Sebelumnya, Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Amir Syamsuddin meminta KPU membuat peraturan yang memerhatikan kondisi kekosongan jabatan ketua umum di partai itu. Partai berlambang Mercy ini meminta KPU membuat aturan yang memperbolehkan Majelis Tinggi menandatangani DCS untuk Pemilu Legislatif 2014.
"Saya kira KPU pun menyadari bahwa seharusnya ada aturan-aturan yang mereka bisa buat sesuai keperluan yang ada. Tidak mungkin situasi kekosongan hukum terjadi dan semua diam berpangku tangan," kata Amir, seusai pertemuan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dengan Majelis Tinggi Partai Demokrat, di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (2/3/2013). Menteri Hukum dan HAM ini menambahkan AD/ART partainya mengatur kewenangan Majelis Tinggi mencakup penetapan calon legislatif.
( kompas.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar