Istilah "Kampung maling” sempat memicu kericuhan dalam rapat kerja gabungan Jaksa Agung (saat itu) Abdul Rahman Saleh dengan Komisi II dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat pada 17 Februari 2005. Saat itu, anggota Komisi III, Anhar, mengatakan, ”Jangan sampai Bapak Jaksa Agung seperti ustaz di kampung maling.”
Anhar mengatakan hal itu untuk meminta Jaksa Agung lebih serius menindak bawahannya yang diduga melakukan pelanggaran hukum. Namun, Jaksa Agung keberatan dengan istilah itu dan minta Anhar mencabut omongannya.
Mungkin terinspirasi oleh peristiwa itu, buku memoar Abdul Rahman saat menjadi Jaksa Agung diberi judul Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz: Memoar 930 Hari di Puncak Gedung Bundar.
Namun, tidak hanya Abdul Rahman yang keberatan dengan istilah kampung maling. Pada 17 Oktober 2012, Ketua DPR Marzuki Alie juga keberatan jika parlemen disebut sebagai kampung maling. Pernyataan itu disampaikan Marzuki menanggapi tudingan maraknya korupsi di lingkungan DPR. Buktinya, ada sejumlah anggota DPR yang harus diproses hukum karena kasus korupsi.
”Nyanyian” Nazaruddin
Muhammad Nazaruddin menjadi salah satu anggota DPR periode 2009-2014 yang diproses hukum karena kasus korupsi. Awalnya, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat tersebut ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi dalam pembangunan wisma atlet SEA Games di Jakabaring, Palembang. Namun, dia lalu membuka kasus lain, seperti proyek pembangunan kompleks olahraga di Hambalang, Bogor, dan dugaan politik uang saat Kongres Partai Demokrat pada Mei 2010 di Bandung, Jawa Barat.
”Saya masih sulit memahami Nazaruddin yang setelah ditangkap bukannya lalu diam. Namun, (dia) justru banyak bercerita, dan belakangan ceritanya itu menjadi kasus,” kata M Qodari dari Indo Barometer.
Sejumlah pihak memang diproses hukum akibat kasus yang dibuka Nazaruddin. Mereka misalnya mantan anggota DPR Angelina Sondakh serta mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng. Keduanya mantan pejabat teras Partai Demokrat.
Terakhir, ”nyanyian” Nazaruddin mengakibatkan Anas Urbaningrum menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat karena ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Kasus mobil Toyota Harrier yang diduga diterima Anas pertama kali dibuka oleh Nazaruddin.
Setelah Anas menjadi tersangka, banyak muncul rumor tentang kasus lain. Sebut saja dugaan penggelembungan suara oleh partai tertentu dalam Pemilihan Umum 2004, akan dibukanya kasus pemberian dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun untuk Bank Century, serta beredarnya dokumen aliran dana kepada sejumlah pihak dalam sejumlah kasus.
Terkait munculnya berbagai rumor belakangan ini, kondisinya mirip saat Nazaruddin menjadi buron hingga tertangkap di Cartagena, Kolombia, pada Agustus 2011. Bedanya, saat itu sumbernya jelas, yaitu Nazaruddin. Sekarang, sumber rumor tersebut tidak jelas.
Di atas segalanya, mungkin inilah fenomena kampung maling. Banyak orang punya kasus. Para pelakunya akan saling membuka kasus jika sedang tidak kompak atau ada gesekan di dalamnya. Semoga dugaan itu tidak benar....
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar