Hubungan PKS dengan Masyumi dan Jemaah Tarbiyah

Pada era Orde Baru, Indonesia hanya mengakui tiga partai politik: Partai Demokrasi Perjuangan, Partai Golongan Karya, dan Partai Persatuan Pembangunan. Kala itu, Presiden Soeharto tak mengizinkan adanya politik berbau agama, seperti Islam.

Dalam buku Dilema PKS: Suara dan Syariah, Burhanuddin Muhtadi menulis bahwa Soeharto memang alergi dengan gerakan Islam politik.

http://l1.yimg.com/bt/api/res/1.2/isQBRMgVn2wsiEOBsB_qZw--/YXBwaWQ9eW5ld3M7Zmk9aW5zZXQ7aD0yMjc7cT04NTt3PTM0MA--/http://media.zenfs.com/id-ID/News/tempo/8725.jpg 
Pendiri Akui PKS Memang Ikhwanul Muslimin

Untuk menyiasati larangan Soeharto, Muhammad Natsir, mantan tokoh Masyumi, mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada 1967. Di bawah bendera DDII, Natsir mengubah jalur politiknya menjadi dakwah dan sosial pada masjid di sejumlah universitas yang notabene sekuler. Dia memfokuskan dakwahnya di Universitas Gajah Mada (Yogyakarta), Universitas Airlangga (Surabaya) dan Universitas Indonesia, Jakarta.

Pada akhir 1970-an, Soeharto pun mengendus adanya gerakan dakwah di dunia kampus. Ia lantas membonsai aktivitas itu dengan mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan pada 1978. Namun usaha itu tak menyurutkan semangat kegiatan dakwah kampus.

Sejalan dengan waktu, sejumlah tokoh dakwah kampus memilih nama 'Tarbiyah' untuk gerakan mereka. "Nama itu dimunculkan untuk menjaga jarak dengan kelompok radikal yang bertujuan politis," tulis Burhanuddin.

Di kemudian hari, aktivis Tarbiyah inilah yang memunculkan ide pembentukan Partai Keadilan (PK), cikal bakal Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Buah pikiran itu muncul bersamaan dengan ambruknya rezim Soeharto, 1998.

"Rezim demokrasi baru di Indonesia adalah momentum politik bagi aktivis Tarbiyah untuk membentuk PK," kata Burhanuddin. "Pembentukan itu memanfaatkan jejaring dan sumber daya Tarbiyah yang telah lama terbentuk." ( tempo.co )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar