Partai Demokrat, Krisis Tak Berujung?

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Anas Urbaningrum, ibarat “seorang bayi yang tidak diinginkan kelahirannya” oleh sebagian besar tokoh di Dewan Pembina Partai Berlambang segitiga Mercy tersebut. Betapa tidak. Sejak Anas maju menjadi kandidat dan terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat pada Kongres Nasional Partai Demokrat di Bumi Priangan, 20 Mei 2010, upaya untuk menggagalkan keterpilihannya atau bahkan menggulingkan Anas dari posisi Ketua Umum PD sudah sering terjadi.

Anas memang bukan “tokoh muda yang diinginkan” untuk memimpin partai penguasa tersebut. Sebagian besar tokoh loyalis Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginginkan agar yang terpilih pada Kongres Nasional tersebut adalah Andi Alfian Mallarangeng, orang yang sejak 2004 sangat dekat dengan SBY dan pernah menjadi Juru Bicara Presiden SBY. SBY lebih menginginkan Andi Mallarangeng karena Andi adalah “kawula” yang amat patuh dan tunduk pada “Gusti-nya.” Tapi kita semua tahu, upaya untuk menjegal Anas dengan cara apa pun, baik sebelum atau setelah Kongres Nasional Partai Demokrat, selalu gagal di tengah jalan.

Apa yang terjadi pada 8 Februari 2013, yaitu pengalihan otoritas untuk memimpin Partai Demokrat dari Ketua Umum PD Anas Urbaningrum kepada Ketua Majelis Tinggi PD Susilo Bambang Yudhoyono, adalah juga bagian dari upaya untuk menjatuhkan Anas dari tampuk kepemimpinan Partai Demokrat. Dalam bahasa yang keren, apa yang terjadi di PD saat ini adalah “Kudeta Merangkak!”. Semua orang yang belajar politik pasti tahu konsep kudeta (dari bahasa Perancis: Coup de’Etat) yang dalam bahasa Inggris disebut strike to the state (serangan kepada Negara). Arti umumnya adalah pengambilalihan kekuasaan dari tangan seorang pemimpin negara. Anas memang bukan pemimpin negara, melainkan hanya sebagai pimpinan eksekutif Partai Demokrat. Namun, pengambilalihan paksa terhadap otoritas Anas sebagai Ketum PD dapat dipandang sebagai kudeta. Mengapa saya mengistilahkan apa yang terjadi di Partai Demokrat sebagai “Kudeta Merangkak”?, nanti akan saya jelaskan skenarionya.


Skenario kudeta

Pengambilalihan otoritas kepemimpinan di PD dari Ketum kepada ketua majelis tinggi adalah bagian dari “perang pengikisan” (war of attrition) atau “kudeta merangkak” yang dijalankan SBY terhadap Anas Urbaningrum. SBY terpaksa harus melakukan itu sebelum otoritas Anas di PD semakin kuat. Dalam istilah militer, apa yang dilakukan SBY terhadap Anas pada Jum’at malam, 8 Februari 2013 itu adalah “pre-emptive strike” (Serangan yang dilakukan sebelum lawan melakukan penyerangan).

Otoritas Anas dilucuti sedikit demi sedikit. Langkah pertama SBY adalah dengan mengeluarkan “Delapan Langkah Penyelamatan dan Konsolidasi Partai Demokrat” yang terdiri atas: Pertama, SBY sebagai Ketua Majelis Tinggi bertugas, berwenang, dan bertanggung jawab memimpin penyelamatan dan konsolidasi Partai Demokrat. Kedua, segala keputusan dan tindakan Demokrat ditentukan dan dijalankan Majelis Tinggi yang juga mengambil keputusan dan arahan penting dan strategis.

Ketiga, elemen-elemen partai berada dalam kendali dan bertanggung jawab langsung kepada majelis tinggi. Keempat, majelis tinggi melakukan penataan dan penertiban organisasi partai, integritas, kredibilitas, dan kinerja. Kelima, keputusan majelis tinggi mutlak diindahkan dan dijalankan. Sanksi tegas untuk yang tidak menjalankan. Mereka yang tidak suka terhadap kebijakan dan penyelamatan Demokrat yang dipimpin ketua majelis tinggi dipersilakan meninggalkan posisinya untuk diisi pejabat baru.

Keenam, penataan, penertiban, dan konsolidasi partai yang dipimpin dan dikendalikan Ketua Majelis Tinggi berakhir setelah nama baik dan kondisi pulih. Ketujuh, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum tetap menjadi Wakil Ketua Majelis Tinggi Partai. Anas diberi kesempatan menghadapi masalah hukum yang ditangani KPK. Kedelapan, Demokrat mengutamakan penataan, penertiban, dan pembersihan partai dari unsur-unsur negatif. Setelah itu baru melakukan ikhtiar untuk Pemilu 2014 (Kompas, 9/2/2013)

Bila kita baca dengan seksama delapan butir langkah tersebut, tampak jelas betapa ini adalah langkah awal untuk melucuti otoritas Anas sebagai Ketum PD. Anas memang tetap sebagai Wakil Ketua Majelis Tinggi PD, tapi otoritasnya sebagai Ketua Umum PD telah diambil seluruhnya oleh SBY. Kalau pun tidak ada kata bahwa Anas dicopot dari Ketum PD, namun esensi dari delapan langkah itu adalah pencopotan segala otoritas yang dimiliki Anas.

Langkah Kedua dari “kudeta merangkak” atau “perang pengikisan” ini adalah dikeluarkannya “Sepuluh Butir Pakta Integritas” yang harus ditandatangani oleh semua jajaran pengurus PD dari pusat sampai ke daerah. Salah satu butir dari pakta integritas ini adalah kesediaan pengurus PD untuk mengundurkan diri apabila dirinya menjadi tersangka korupsi atau melakukan tindakan tercela. Sebenarnya Pakta Integritas ini bukanlah hal yang baru. Itu sudah menjadi bagian dari komitmen para pengurus atau politikus PD yang termaktub di dalam kode etik para anggota PD yang juga dikemukakan lagi pada Silaknas PD di Sentul, Bogor, pada 2012 lalu.

Asumsi dasar dari dikeluarkannya pakta integritas ini ialah agar Anas tidak mau menandatangani Pakta tersebut karena dirinya tersangkut kasus Korupsi di proyek pembangunan sekolah atlit di Hambalangan, Bogor. Ternyata, Anas melakukan “serangan balik” (strike back) dengan menunjukkan bahwa kuku-kuku kekuasaan dan kepemimpinannya di dalam PD masih sangat kuat. Ini terlihat dari bagaimana ia menandatangani pakta integritas tersebut diikuti oleh jajaran Pengurus Pusat Partai Demokrat yang loyal kepadanya. Pernyataan politiknya agar semua jajaran pengurus PD dari pusat sampai daerah menandatangani Pakta Integritas itu adalah untuk menunjukkan integritas dirinya dan sekaligus memberi sinyal komunikasi ke atas maupun ke bawah bahwa dia masih “memegang komando” (in charge atau in command) di Partai Demokrat. Ia mengikti irama permainan yang ditabuh SBY sambil menunjukkan kepiawaiannya dalam memimpin PD.

Dalam kaitan itu, Anas masih memiliki kepemimpinan yang efektif di dalam PD. Jika kita meminjam pandangan Joseph S. Nye Jr.,”seorang pemimpin yang efektif adalah orang yang mampu memadu antara hard power of Coercion dansoft power of persuasion yang dimilikinya.” Kemampuan untuk mengetahui kapan dia dapat menggunakan hard power dan kapan dia menggunakan soft-power itulah yang disebut bahwa dirinya memiliki smart power.

SBY antara 2001-2009 memiliki soft-power of persuasion. Ia mampu menyihir banyak orang untuk menerima dan berbagi visi dengannya. SBY juga tahu bagaimana mengooptasi para pengikutnya agar berjalan seirama dengannya untuk mencapai tujuan bersama. Slogan “Bersama Kita Bisa” adalah semboyan yang memiliki medan magnet yang kuat pada pemilu presiden 2004 dan berlanjut pada 2009. Namun, belakangan ini sifat militeristik-nya muncul lebih mengemuka ketimbang sifat demokrat-nya. Karena itu, jangan kaget bila saya banyak menggunakan konsep dalam ilmu politik dan kemiliteran untuk menjelaskan langkah-langkah SBY tersebut.

Apa yang dilakukan SBY adalah sah dari sisi miliiter, karena ia mengejar “kesempatan” atau opportunity untuk menyelamatkan partai sembari mengerdilkan otoritas Anas Urbaningrum. Namun, sayangnya, skenario yang dibuatnya tersebut belum tentu berjalan sempurna! Contohnya, “desakan” agar Anas lebih konsentrasi menghadapi tuduhan hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ternyata mendahului hukum dan malah dilakukan dengan cara yang salah. Upaya Istana untuk mendapatkan “Surat Perintah Penyidikan” (Sprindik) amat sangat tidak sempurna.

Lima tokoh pendekar KPK belum semuanya menandatangani dokumen penting itu. Isu yang berkembang malah Istana berupaya mengintervensi KPK dengan mendesak KPK cepat-cepat mengeluarkan Sprindik dan menyatakan Anas sebagai tersangka kasus Hambalang. Bocornya Sprindik yang berasal dari KPK ke Istana dan dari Istana ke Media Massa itu justru menjadikan pihak istana dituduh melakukan tindakan tercela melakukan intervensi hukum terhadap KPK! Dampak bawaannya, KPK bukannya cepat melakukan gelar perkara semata melainkan disibukkan oleh pelanggaran etika pembocoran dokumen negara yang masih dalam bentuk draf.

Langkah Ketiga dari skenario kudeta merangkak ini adalah melalui Rapimnas PD di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, pada Minggu 17 Februari 2013. Sebenarnya, jika skenario awal lancar, yaitu Anas dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK, rapimnas ini adalah cara mengkis kekuatan Anas di jajaran bawah Partai Demokrat dan berujung pada Langkah keempat, yaitu Kongres Luar Biasa (KLB). Lagi-lagi, Rapimnas ini medahului Gelar Perkara KPK soal kasus Anas yang baru akan diadakan pada Senin, 18 Februari ini.

Krisis tak ada ujung?

Jika berbagai langkah skenario kudeta merangkak itu ternyata tak berhasil, majelis tinggi harus mengembalikan otoritas partai kepada Ketua Umumnya Anas Urbaningrum. Jika tidak, elektabilitas Partai Demokrat akan semakin runyam, karena pasti akan ada lagi ribut-ribut internal mengenai daftar caleg sementara dari PD yang harus diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Maret ini.

Krisis yang tiada ujung ini tentunya dapat menjadi kampanye negatif bagi PD. Ketua majelis tinggi jangan lagi memiliki pemikiran untuk melengserkan ketua umum PD, apalagi jika penggantinya berasal dari anggota keluarga Cikeas. Jika itu terjadi, Partai Demokrat akan tinggal kenangan dan bukan mustahil akan sulit untuk menembus 3,5% Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) sebagai prasyarat untuk dapat memiliki kursi di parlemen. Apakah itu “Legacy” (Warisan politik) yang ingin ditinggalkan SBY?
Oleh, Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs di Pusat Penelitian Politik LIPI Jakarta