Tentang Potensi dan Kekuatan Jokowi vs Prabowo - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah secara resmi telah menerima pendaftaran dua pasangan Capres-Cawapres yang akan mengikuti pilpres 2014, yakni Jokowi-JK yang diusung oleh gabungan partai PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI, serta Prabowo-Hatta yang diusung oleh koalisi Gerindra, PAN, PPP, Golkar, PKS, dan PBB.
Sedangkan partai Demokrat (PD) menyatakan netral dalam pilpres sesuai dengan keputusan Rapimnas. Munculnya dua pasangan kandidat ini diprediksikan akan disertai dengan persaingan yang sangat ketat dalam pemilu satu putaran. Seluruh sumber daya yang dimiliki oleh kedua pasangan tersebut akan dimobilisasi guna memenangkan kompetisi lima tahunan yang akan segera dijelang pada 9 juli 2014 nanti.
Situasi politik menunjukan eskalasi yang kian meningkat akibat perang opini yang telah berlangsung meski tahapan kampanye belum secara resmi dimulai. Walaupun setiap kandidat mungkin akan mengelak, namun tidak dapat dipungkiri bahwa upaya mobilisasi opini baik yang bersifat negative campaign, black campaign maupun positive campaign telah dilakukan oleh para pendukung secara masif dengan tujuan memperkuat citra posistif masing-masing jagoan yang diusung maupun untuk mendelegitimasi lawan politiknya. Hal itu penting guna mendongkrak elektabilitas masing-masing dalam pilpres kelak.
Potensi Kekuatan
Jika kita komparasikan kedua pasangan capres-cawapres tersebut, masing-masing memiliki potensi yang dapat memberikan insentif dan disinsentif politik bagi upaya mereka memuluskan jalan menuju kursi kekuasaan. Dilihat dari aspek kekuatan, maka di atas kertas Prabowo-Hatta unggul dengan dukungan 6 partai (48,95% suara) dibandingkan Jokowi-JK dengan 5 partai (39,97%).
Jumlah suara ini tidak hanya penting sebagai modal awal dan pemerintahan yang terbentuk kelak, tetapi juga dapat membangkitkan konfidensi politik serta efek sugesti bagi pemilih. Bagi Prabowo, dukungan empat partai penguasa tentu diharapkan dapat paralel dengan peluang mobilisasi infrastruktur kekuasaan di daerah guna menggalang dukungan pemilih.
Selain infrastruktur partai, latar belakang capres-cawapres akan ikut mempengaruhi. Posisi Prabowo sebagai satu-satunya kandidat yang berasal dari mantan militer memungkinkan dirinya untuk mendapat simpati dari kalangan militer terutama keluarga mereka yang memiliki hak pilih. Hal itu setidaknya ditunjukan dengan berkumpulnya sebagian besar para purnawirawan militer dalam kubunya.
Begitu pula dengan Jokowi yang potensial mendapat dukungan dari keluarga Polri mengingat peranan era pemerintahan Mega yang dianggap berjasa terhadap reformasi Polri.
Dukungan yang menjadi kekuatan Prabowo juga diperkirakan akan muncul dari kalangan Muhammadiyah, baik karena peranan Amien Rais maupun keberadaan Hatta sebagai Cawapres. Kecil kemungkinan bagi warga Muhammadiyah untuk mendukung Jokowi mengingat klaim dukungan kiai-kiai NU yang dibawa oleh PKB dan JK terhadap Jokowi.
Memang sejumlah tokoh struktural NU seperti Said Agil Siradj telah menegaskan aspirasi pribadinya untuk mendukung Prabowo, namun hal ini belum dapat dipastikan akan mencerminkan aspirasi umatnya. Karena itulah, wajar jika Prabowo kemudian menarik Mahfud MD sebagai Tim Sukses dengan harapan mendulang suara warga Nahdliyin.
Telah menjadi rahasia umum bahwa seolah-olah terjadi rivalitas politik antara NU dan Muhammadiyah sehingga sulit untuk bertemu dalam kepentingan politik yang jangka panjang.
Sedangkan pada pilihan isu politik, program politik disertai dengan jargon-jargon yang sangat nasionalistik, heroik dan menunjukan spirit of fighting dapat menjadi magnet bagi pemilih dari kalangan nasionalis dan konservatif yang selama ini dianggap massa loyal dari PDIP.
Begitu pula dengan aspek personifikasi sebagai pemimpin, kemampuan komunikasi massa dan penguasaan isu-isu krusial bangsa merupakan kualitas individual yang dapat dieksploitasi sebagai instrumen persuasi pemilih kritis yang biasanya mengambil keputusan pada last minute menjelang pilpres.
Berbeda dengan Prabowo, gaya low profile dan rileks Jokowi dapat menjadi alternatif bagi kejenuhan masyarakat terhadap gaya pemimpin yang monoton dan cenderung formalistik. Personifikasi Jokowi ini menghadirkan suasana baru bagi pemilih dalam menilai kualitas individual para pemimpin. Meski Jokowi dalam berbagai kesempatan dikritik karena dianggap tidak menguasai masalah dan tidak punya konsep yang jelas, namun sikap low profile dan rileksnya mampu menjadi insentif politik baginya meraih simpati massa.
Potensi Kelemahan
Dalam konteks kelemahan, kekuatan politik pendukung Prabowo merupakan bagian dari kekuasaan sekarang yang dirundung banyak masalah, terutama hukum. Partai pendukung Prabowo setidaknya mudah untuk diasosiasikan dengan berbagai persoalan pemerintahan sekarang yang menjadi sorotan publik, serta potensial terjerat dalam kasus-kasus hukum yang dapat dieksploitasi sebagai negative maupun black campaign.
Lihat saja persoalan yang menerpa Surya Darma Ali (PPP) yang segara dijadikan celah untuk mendelegitimasi Prabowo. Hal ini berbeda dengan komposisi partai pendukung Jokowi yang sebagian besar merupakan partai oposisi dan partai baru, kecuali PKB, sehingga relatif aman dan mudah berkelit dari persoalan-persoalan kelemahan pemerintahan yang dapat dieksploitasi sebagai negative campaign.
Secara individual, Prabowo memiliki handicap berupa isu pelanggaran HAM yang saat ini digunakan sebagai senjata lawan-lawan politiknya menyerang personifikasinya. Meski persoalan HAM itu telah diklarifikasi dalam berbagai kesempatan, namun opini terlanjut terbentuk dan dieksploitasi sedemikian rupa. Isu ini bisa saja tidak akan efektif, tetapi akan menjadi sandungan terutama mengingat legitimasi internasional.
Sedangkan Jokowi akan menghadapi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh orang-orang dekatnya yang diduga mengambil kesempatan guna meraih keuntungan materil maupun politik dengan cara melanggar hukum. Hal itu setidaknya terlihat dari isu korupsi dalam Impor Bus dari China yang mulai diolah sebagai opini untuk menyudutkan Jokowi. Begitupula dengan kapasitas individual Jokowi yang disangsikan banyak orang. Jika dalam pemaparan visi-misi dan debat publik Jokowi tidak mempersiapkan dengan baik, maka pemilih kritis dapat berpaling sebagaimana pengalaman sikap para pemilih dalam Pilgub Jawa Tengah dalam merespon kualitas individual yang ditunjukan oleh Ganjar Pranowo.
Peluang dan Tantangan
Pengalaman menunjukkan bahwa pilpres memiliki logika yang berbeda dengan pemilu legislatif. Preferensi pemilih cenderung individual dalam memilih tanpa pertimbangan yang kuat tentang afiliasi kepartaian. Situasi ini tentu menunjukan bahwa jumlah dukungan partai tidak menjadi faktor determinan, kecuali para kandidat itu dapat memastikan mesin partai bekerja dengan efektif menjaga basis suara loyalnya sekaligus penetrasi pada massa mengambang dan undecided voters yang komposisinya siginifikan menentukan kemenangan.
Tantangan utama Prabowo selain mengclearance isu-isu seputar pelanggaran HAM, ia harus ikut mengcounter masalah-masalah yang sepertinya mulai menimpa partai pendukungnya. Konsolidasi juga akan menjadi isu penting mengingat persoalan klasik dalam model koalisi besar (grand coalition) biasanya persoalan soliditas partai pendukung.
Banyak pihak mensinyalir bahwa partai Golkar akan mengalami gejolak internal sehingga dukungan Golkar tidak akan solid. Prabowo juga memiliki tantangan untuk meningkatkan penetrasinya pada struktur masyarakat pemilih dari kelas bawah yang selama ini menjadi basis garapan Jokowi. Isu-isu Prabowo perlu dikonversi dalam bahasa yang dimengerti oleh orang awam dan kelas bawah sehingga tidak dianggap elitis.
Memang, bagi kalangan menengah terdidik isu dan gaya Prabowo menjadi ketertarikan sendiri. Namun struktur pemilih dari kalangan ini bukanlah dominan dalam struktur masyarakat pemilih. Jokowi memiliki peluang besar pada semua level, namun ada persoalan serius terkait bagaimana Jokowi meyakinkan pemilih mengenai efektifitas pemerintahan kedepan dan persoalan stabilitas.
Hal ini mengingat komposisi kekuasaan pendukung di legislatif yang tidak menguasai kursi mayoritas, sekaligus rumor mengenai lemahnya dukungan dari kalangan militer terhadapnya. Tantangan lain adalah bagaimana Jokowi bisa mengclearance bahwa dirinya tidak ada sangkut pautnya dengan isu korupsi Bus Impor dan dapat meyakinkan birokrasi bahwa tidak akan ada perubahan yang terlalu drastis dalam manajemen birokrasi.
Gaya manajemen birokrasi Jokowi yang sebetulnya merupakan langkah maju dianggap persoalan ketika kultur birokrasi lamban merespon perubahan itu. Inilah yang perlu Jokowi respon sehingga dapat meraih dukungan di kalangan keluarga pegawai negeri sipil.
Sedangkan mengenai faktor Cawapres, akan ada pengaruh namun signifikansinya akan berpusat pada pertarungan figur Capres masing-masing. JK mungkin akan menjadi alternatif bagi warga Golkar yang kecewa dengan kepemimpinan Ical. Sedangkan Hatta dapat menjadi alternatif dukungan kalangan Muhammadiyah. Selain itu, kedua Cawapres tersebut dapat menjadi pendulang suara di kalangan pemilih luar Jawa.
Sumber:tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar