Membaca Politik Pencitraan Dalam Eksekusi Hukuman Mati

Pemerintahan Jokowi melalui Kejagung telah melakukan eksekusi hukuman mati dengan menembak mati enam narapidana narkotika, Minggu 18 Januari 2015 lalu.

Mereka adalah Marco Archer Cardoso Mareira (53 tahun, warga negara Brasil), Daniel Enemua (38 tahun, warga negara Nigeria), Ang Kim Soe (62 tahun, warga negara Belanda), Namaona Dennis (48 tahun, warga negara Malawi), Rani Andriani atau Melisa Aprilia (warga negara Indonesia), dan Tran Thi Hanh (37 tahun, warga negara Vietnam).


Hukuman mati ini menimbulkan banyak kontroversi.

Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti menganggap kebijakan Jokowi tersebut hanya pencitraan.

"Kenapa pada hari ke-91 menjabat Presiden, bahkan belum 100 hari, dia sudah 'melumuri tangannya dengan darah' melalui eksekusi mati? Apa lagi kalau bukan pencitraan?" ujar Poengky di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (19/1/2015), dilansir KOMPAS.

Poengky mengatakan, di Indonesia, kebijakan eksekusi mati dilaksanakan rezim penguasa ketika dia butuh panggung di mata publik atas kebijakan-kebijakan lain yang tidak populer. 

"Ini tendensinya ngejar popularitas biar naik bahwa seolah-olah pemerintahannya tegas, mampu mengatasi kejahatan narkotika, dan lain-lain. Padahal, tidak sama sekali," ujar dia. 

Kontroversi lain adalah perlakuan hukum yang berbeda pada kasus narkoba.

Sebagaimana diketahui, gembong ekstasi Colbert Mangara Tua hanya divonis ringan 8,5 tahun. Ketua DPC PDIP Blora ini tertangkap pada kasus penyelundupan 400 ribuan butir ekstasi asal Belanda awal 2013 lalu. 

Saat itu Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Suhardi Alius, mempertanyakan vonis ringan yang dijatuhkan hakim kepada gembong ekstasi Colbert Mangara Tua alias Robert Siregar alias Jefri. 

"Sekarang itu kembali ke masyarakat, pantas enggak putusan seperti itu?" kata Komjen Suhardi saat itu.

"Jangan sampai kita capek-capek ikutin jaringan sekian lama, terus vonis itu. Kalau dibilang puas enggak puas, ya enggak puas," imbuhnya.

Dia mengatakan majelis hakim seharusnya mempertimbangkan berbagai hal untuk menghukum berat Colbert, seperti berapa kali pelaku melakukan penyelundupan, jumlah narkotika yang diselundupkan, serta jumlah kerusakan yang disebabkan oleh narkotika.

Komjen Suhardi Alius saat ini sudah tidak menjabat sebagai Kabareskrim Polri. Jumat (16/1/2015) kemarin, Suhardi dimutasi menjadi Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).

Perlakuan hukum yang berbeda pada terpidana narkoba sepeti ini, hanya menegaskan dan menguatkan pernyataan Direktur Imparsial bahwa hukuman mati hanya pencitraan Jokowi dan bukan untuk mengatasi kejahatan narkotika.

"Ini tendensinya ngejar popularitas biar naik bahwa seolah-olah pemerintahannya tegas, mampu mengatasi kejahatan narkotika, dan lain-lain. Padahal, tidak sama sekali," ujar Poengky.

Sumber :pkspiyungan.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar