Selama 10 Tahun ini, Pemerintah Lebih Banyak Bicara Daripada Berbuat

Selama 10 Tahun ini, Pemerintah Lebih Banyak Bicara Daripada Berbuat - Pada zaman Orde Baru, pemerintah memiliki kekuasaan tunggal untuk menafsirkan Pancasila dan memaksakan penafsiran itu kepada rakyatnya. Penataran P4 hanya digunakan melegetimasi tindakan pemerintah, sementara mereka yang bersebrangan dengan pemerintah disebut anti-Pancasila.

Pada awal reformasi, pemerintah kehilangan legitimasi. Penafsiran tunggal Pancasila terhempas bersama tumbangnya Orde Baru. Namun ketegangan, konflik, dan perpecahan masyarakat, mengingatkan banyak orang akan perlunya pelembagaan kembali Pancasila. Orang-orang yang dulu sinis dengan Pancasila pun menyadari pentingnya ideologi itu bagi kelangsungan dan masa depan bangsa.

Pimpinan MPR mengambil peran itu melalui program Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Pelembagaan Pancasila menjadi rumit karena tambahan tiga nilai lain. Maksud baik, tapi salah paham tak terhindarkan. Apalagi, sosialisasi Pancasila sebetulnya adalah tugas eksekutif, bukan legislatif, apalagi majelis tinggi negara.

http://cdn.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2014/04/29/358805/670x335/sepuluh-tahun-politik-tanpa-ideologi.jpg

Langkah MPR menyosialisakan Empat Pilar sebetulnya bisa dipahami, karena pemerintah tampak tidak peduli; bisa karena takut dituduh menyalahgunakan ideologi untuk kepentingan kekuasaan; bisa juga karena tidak paham atas apa yang harus dilakukan. Selain itu pemerintah tampak sangat sibuk mengurusi pertikain politik dan teknis pemerintahan sehari-hari. 

Padahal, jika mau dihitung, selama sepuluh tahun ini, sebenarnya pemerintah lebih banyak berkata-kata daripada bertindak. Namun, hamburan kata-kata yang banyak direkam media itu tanpa makna bagi kehidupan bangsa. Kata-kata itu tidak mengandung nilai-nilai bangsa dan negara, melainkan untuk memuji dan membela diri.

Setelah lima tahun terkoyak-koyak arus reformasi, masa tenang sepuluh tahun ini jadi tak bermakna bagi kehidupan politik bangsa dan negara. Konstitusi telah diubah, tapi perubahan itu hanya menjadi pijakan untuk bermain politik dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan. Nilai-nila, ideologi, dan semangat yang mendasari perebahan sudah dilupakan.

Konstitusi memang memiliki keterbatasan dalam mengatur perilaku para elit politik. Namun itu sudah menjadi sifat konsitusi, sebab sebagai rumusan kata, kalimat, dan pasal, konstitusi tentu tidak bisa menerjemahkan semua nilai yang dikandung Pancasila secara verbal. Di sinilah pesan perancang naskah asli UUD 1945 patut dicamkan kembali:

Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun dibikin Undang-Undang Dasar yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, Undang-Undang Dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik.

Sebaliknya, meskipun Undang-Undang Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan baik, Undang-Undang Dasar itu tentu tidak akan merintangi jalannya negara. Jadi yang paling penting ialah semangat. Maka semangat itu hidup, atau dengan lain perkataan dinamis. Berhubung dengan itu, hanya aturan-aturan pokok saja harus ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar, sedangkan hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu harus diserahkan kepada undang-undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar