Perbedaan antara Politikus dan Negarawan

Perbedaan antara Politikus dan Negarawan - Tahun 2014, sebagaimana prediksi para ahli, akan merupakan tahun yang sarat dengan masalah-masalah berat, sehubungan dengan akan terjadinya dua peristiwa politik yang sangat penting karena akan menentukan wajah umat pada masa yang akan datang.

Yaitu, pemilihan umum legislatif (pileg) untuk DPR RI, DPD RI, dan DPRD serta pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung dan demokratis.

Kita berharap dua peristiwa ini memberi pengaruh positif bagi kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara serta kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. 

Rakyat menaruh harapan dan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipilih dan pemimpin yang diberi amanah untuk memimpin negara dalam periode lima tahun mendatang. 

http://wartaaceh.com/wp-content/uploads/2012/10/partai-islam.jpg

Ungkapan bekerja untuk rakyat, selalu dekat dengan rakyat, tidak cukup sekadar kata-kata dan janji saat kampanye, tetapi harus dibuktikan dengan perbuatan nyata. 

Melalui pemilu legislatif diharapkan akan terpilih para legislator di DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta DPD yang memiliki akhlakul karimah, integritas, dan kecakapan sebagai wakil rakyat. 

Mereka diharapkan punya komitmen yang kuat untuk menyusun undang-undang atau peraturan daerah, menetapkan APBN, APBD, serta mengawasi jalannya pemerintahan agar tetap berorientasi pada kepentingan rakyat.

Selanjutnya, melalui pilpres diharapkan akan terpilih presiden dan wakil presiden yang betul-betul memikirkan dan bertindak secara nyata bagi kemakmuran rakyat yang dipimpinnya. 

Presiden dan wakil presiden terpilih diharapkan sosok yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan program kerja pemerintahan dan tidak menghindari tanggung jawab tatkala terjadi kegagalan.

Syarat calon pemimpin negara, menurut para pemikir Muslim, hendaklah seorang yang berakhlakul karimah, jujur, memiliki keberanian, bersedia menjadikan diri dan keluarganya sebagai suri teladan bagi masyarakat dan bangsanya. 

Ukuran yang dipakai bukan sekadar ucapannya, melainkan juga pemikirannya yang tecermin dalam tingkah laku serta gaya bekerjanya.

Calon pemimpin juga hendaklah seorang sosiawan, yakni seseorang yang hatinya mudah berempati dan simpati terhadap penderitaan sesamanya. 

Syarat lainnya yang amat penting ialah seorang calon pemimpin hendaklah senantiasa memegang amanah. Amanah ini datang dari dua pihak, dari rakyat dan dari Allah SWT.

Memilih anggota legislatif dan pimpinan nasional, apalagi memilih melalui demokrasi langsung di mana kecerdasan rakyat dan kesejahteraan umum belum merata, bukan persoalan yang mudah.

Sunnatullah selalu membuktikan bahwa kualitas pemimpin yang terpilih tidak jauh dari kualitas rakyat yang memilihnya. 

Dewasa ini, bangsa Indonesia telah mampu meraih keberhasilan menerapkan demokrasi prosedural, tetapi masih merangkak dalam menerapkan demokrasi substansial. 

Sering kali demokrasi prosedural yang berlangsung dinodai suap dan korupsi dan terkadang berujung dengan konflik sosial dan anarkistis seperti terjadi di beberapa daerah pascapemilihan kepada daerah (pilkada) langsung.

Jika diurai lebih jauh, perkembangan kehidupan bangsa dan negara pasca-Reformasi lebih banyak melahirkan politikus dibanding negarawan. 

Perbedaan antara politikus dan negarawan sering diungkapkan sebagai berikut, politikus berpikir tentang pemilihan yang akan datang sedangkan negarawan berpikir tentang generasi yang akan datang.

Membangun masa depan bangsa membutuhkan negarawan dan hadirnya sifat-sifat kenegarawanan yang sejati.

Sifat kenegarawanan sebagai pemimpin bangsa yang beragama, apalagi sebagai bangsa yang mayoritas Muslim, tentunya sifat kenegarawanan yang dijiwai ajaran Islam bagi para pemeluknya dan bukan kenegarawanan yang jauh dari agama. 

Dalam sifat kenegarawanan tersebut, nilai-nilai agama (Islam) wajib dijunjung tinggi, seperti amanah, jujur, tidak korup, dan tidak khianat.

Sifat kenegarawanan yang dipatri dengan ajaran agama dalam hal ini ketakwaan kepada Allah SWT akan mencegah seseorang dari menyelewengkan dan menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri atau orang lain yang menguntungkan dirinya.

Sifat kenegarawanan akan mendorong lahirnya politik kemakmuran demi kepentingan rakyat yang berdaulat dalam negara ini.

Di sisi lain, budaya demokrasi yang menghormati supremasi hukum dan bersih dari politik uang (money politic) harus ditumbuhkembangkan di negara kita. Tidak kurang pentingnya ialah mengembangkan budaya demokrasi yang menggunakan nalar dan akal sehat. 

Dalam hal ini, pilihan kepada calon legislatif dan calon pimpinan nasional harus didasarkan kepada alasan yang substantif, melihat rekam jejak calon bersangkutan dan tidak mudah tertipu karena popularitas semata.

Ulama dan pemimpin Islam Prof Buya Hamka mengatakan, “Tidaklah semua orang yang populer itu orang besar dan tidaklah semua orang besar itu populer.”

Ungkapan di atas menarik direnungkan dalam konteks membangun kedewasaan berdemokrasi, khususnya memilih pemimpin yang terbaik.

Guna membangun politik kemakmuran diperlukan social support (dukungan masyarakat) dan social control (pengawasan masyarakat) yang seimbang.

Dalam istilah agama dikenal apa yang disebut tausiyah atau saling menasihati sebagai sebuah keniscayaan dalam kehidupan bernegara. 

Inti agama adalah nasihat dan apabila nasihat tidak berjalan atau terhambat, yang akan terjadi adalah kerusakan. Seperti diketahui, di antara sifat manusia adalah lupa dan salah.

Contoh tausiyah yang baik adalah ketika Umar bin Khattab (sewaktu menjadi khalifah) dikritik oleh seorang perempuan biasa karena kebijakannya dianggap bertentangan dengan Alquran. Saat itu pula, Umar bin Khattab menerimanya dengan baik. 

Beliau berkata, Umar yang salah dan perempuan itu benar. Karena itu, tausiyah perlu terus dihidupkan kembali dalam demokrasi dan politik agar melahirkan politikus yang Islami yang sekaligus negarawan, seperti Umar bin Khattab tersebut.

Pada akhirnya, hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Abu Dzar al-Ghiffari mengingatkan kepemimpinan adalah amanah yang berat dan pada hari kiamat dapat berubah menjadi (sumber) kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi mereka yang melaksanakannya dengan benar dan memercayakannya kepada yang berhak.

Rasulullah juga bersabda, apabila amanah sudah hilang maka tunggulah datangnya saat kehancuran dan amanat akan hilang kalau kepemimpinan diserahkan kepada yang bukan ahlinya karena tidak memiliki persyaratan kecakapan dan kemampuan yang diperlukan untuk memegang jabatan publik.

Semoga kita semua mendapat petunjuk dan kekuatan dari Allah SWT dalam menyongsong dan mengawal agenda nasional pada 2014.

sumber : republika, Oleh: KH Didin Hafidhuddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar